Trending

Menelisik Fenomena Xenoglosifilia: Katanya sih Kebiasaannya Anak Jaksel

Sebagai anak tongkrongan, selain obrolan yang emang satu frekuensi kita tentunya harus ngomong dengan bahasa yang sama. Hal ini mungkin banyak dirasakan oleh lo yang emang anak perantauan. Mungkin sebelum se-akrab sekarang, lo ada kendala ngobrol di tongkrongan dengan bahasa yang berbeda.

Beberapa tahun belakangan, banyak dari kita – yang berlokasi di ibu kota dan kota-kota besar di Indonesia mulai ngomong dengan mix-language. Kayak menggunakan kata by the way, see you, on the way, dan lain sebagainya dalam percakapan sehari-hari.

Penggunaan ini disebut dengan fenomena Xenoglosifilia. Nah fenomena kayak gini sering banget dibilang sebagai bahasanya anak jaksel – entah dari mana asalnya. Tapi sebenarnya salah nggaksih?

Biar tau salah atau nggaknya, lebih baik kita pahami bareng-bareng dulu deh – apasih sebenarnya Xenoglosifilia ini? Selengkapnya di bawah ini ya!

Mengenal Fenomena Xenoglosifilia

Xenoglosifilia

Credit image – iStock

Di ilmu linguistik, ada sebuah fenomena yang menjelaskan penggunaan bahasa dengan mencampurkan kode di dalamnya yang disebut dengan Xenoglosifilia. Menurut pakar Linguistik – Chaer dan Agustina, Fenomena ini ditandai dengan penggunaan dua bahasa atau lebih dari bahasa yang digunakan masyarakat pada umumnya.

Salah satu kode utama – yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan alias bahasa indonesia, akan bercampur dengan kode lain – dalam hal ini bahasa inggris. Meskipun penggunaan kode lain nggak dominan, tapi fenomena Xenoglosifilia.

Awalnya, fenomena ini digunakan oleh para pedagang dalam komunikasi antar daerah. Zaman dulu, para pedagang melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain dengan bahasa asing. Akhirnya terjadilah fenomena ini.

Fenomena Saat Ini

Meskipun udah bukan penggunaan bahasa daerah, tapi fenomena Xenoglofilia saat ini lebih pada penggunaan bahasa indonesia dengan bahasa inggris maupun bahasa asing lainnya. Seperti misalnya menggunakan kata dalam bahasa jepang maupun korea yang saat ini memiliki banyak penggemar di Indonesia.

Di era 4.0 ini, fenomena ini sebenarnya terjadi tanpa disadari. Sepertinya nggak akan ada juga masyarakat yang sadar bahwa penggunaan bahasa anak jaksel ini ternyata menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dikulik.

Mengingat di era ini juga teknologi serba mudah di akses, perkembangan dari dunia Barat – bahasa-bahasa slang yang biasa digunakan di sana juga mudah untuk diserap oleh masyarakat kita.

Faktor Pendukung Terjadinya Fenomena Ini

Xenoglosifilia

Credit image – Engoo

Meskipun padanan kata yang digunakan seringkali nggak nyambung, tapi ternyata banyak orang yang menganggap menggunakan bahasa dengan campur-campur gini itu sebuah pride. Kenapa begitu?

Meskipun udah berkembang – ternyata masih banyak orang yang menganggap bahwa bahasa asing itu superior. Dengan adanya anggapan ini, orang tersebut merasa penggunaan bahasa asing bakal terlihat lebih keren.

Maraknya penggunaan mix-language inilah akhirnya banyak dinilai merusak bahasa. Kok kesannya serius banget, padahal cuma bahasa tongkrongan aja?

Well, sekarang coba membahas fenomena ini – sebenarnya salah nggak sih?

Fenomena Ini: Salah atau Nggak Sih?

Kalo mau dikulik, sebenarnya menguasai banyak bahasa emang nggak salah, bahkan di era yang serba maju ini menguasai banyak bahasa kayaknya udah jadi suatu keharusan. Tapi, banyak orang – atau bisa disebut pakar linguistik mengatakan, bahwa kesalahan pada fenomena ini bukan dengan cara mencampur adukkannya, tapi pada penggunaannya. Karena yang ada saat ini malah merusak bahasa sebenarnya.

Tapi kalo mau ditelisik lagi, penggunaan bahasa ini seringkali hanya digunakan di tongkrongan – yang sebenarnya sepertinya sah-sah aja kalo dilakukan. Karena lawan bicara lo pun akan mengerti apa yang lo bicarakan – secara emang udah jadi bahasa sehari-hari.

Kesimpulannya, salah atau nggaknya bahasa ini bukan dari bahasa yang digunakan – tapi penggunaan waktunya yang tepat. Jangan sampai lo ngomong bercampur gini terus ngomong sama dosen atau atasan di kantor, bahaya, bro!

Feature image – Freepik