Pernah ngerasa puas waktu ngebayangin orang yang nyakitin lo akhirnya kena karmanya? Atau mungkin lo sempat kepikiran untuk bales, biar dia tahu rasanya diperlakukan nggak adil? Rasa itu valid, kok.
Dorongan buat balas dendam ternyata udah jadi bagian dari insting dasar manusia sejak zaman dulu. Tapi pertanyaannya: kenapa kita ngerasa “senang” saat ngebalas, dan kenapa rasa itu sering banget nggak bertahan lama?
Menurut sains dan psikologi, dorongan dendam nggak cuma dilandasi emosi sesaat. Ada mekanisme di otak yang bekerja, norma sosial yang membentuknya, bahkan budaya yang mendukung perilaku itu sebagai bentuk pertahanan diri.
Masalahnya, nggak semua rasa puas yang kita cari dari balas dendam itu benar-benar menyelesaikan masalah. Justru kadang, bisa memicu masalah baru.
Reward Otak yang Cepat Padam

Lo mungkin pernah ngerasainnya: begitu lo membayangkan orang yang nyakitin lo dapet balasan setimpal. Ada sensasi aneh yang muncul. Kayak lega, senang, puas. Nah, itu bukan cuma perasaan kosong, tapi ada penjelasan biologisnya.
Di otak, ada bagian yang disebut nukleus kaudatus, pusat dari sistem reward. Saat lo membayangkan balas dendam, bagian ini langsung aktif dan menghasilkan lonjakan rasa puas yang mirip dengan efek setelah makan enak atau dapet hadiah.
Tapi sayangnya, efeknya cepat banget hilang. Sensasi “kemenangan” itu nggak bertahan lama. Begitu otak selesai memproses “reward”-nya, lo bisa balik lagi ke rasa kosong, kecewa, bahkan lebih marah dari sebelumnya karena realitanya mungkin nggak sesuai harapan.
Jadi, kalau lo berharap balas dendam bakal bikin hati plong selamanya, sayangnya sains bilang nggak seindah itu.
Balas Dendam: Kode Etik Primitif

Dendam sering diasosiasikan dengan sifat buruk, sesuatu yang harus ditekan atau dikendalikan. Tapi dari sisi psikologi evolusioner, ternyata balas dendam punya fungsi penting dalam hubungan sosial manusia sejak zaman purba.
Menurut Karyn Hall (PhD), balas dendam bisa dilihat sebagai bentuk penegakan keadilan yang sangat mendasar. Tujuannya bukan sekadar menyakiti balik, tapi memberi sinyal: kalau lo nyakitin gue, bakal ada konsekuensinya.
Dalam masyarakat purba, yang belum punya sistem hukum formal, kemampuan membalas jadi semacam perlindungan diri. Kalau seseorang dikenal “nggak bisa bales”, dia lebih rentan diserang. Tapi kalau lo punya reputasi bisa bales sakit hati, orang lain akan lebih hati-hati.
Konsep ini disebut sebagai deterrence, atau upaya pencegahan melalui ancaman. Jadi meskipun sekarang kita hidup di era hukum dan mediasi, jejak-jejak psikologis dari sistem “mata ganti mata” itu masih tertanam dalam cara kita merespons konflik.
Manis, Lalu Pahit: Emosi Bittersweet

Yang sering dilupakan orang: dendam itu bukan cuma soal “gue bales, terus gue lega.” Kenyataannya jauh lebih kompleks. Banyak studi menunjukkan bahwa setelah aksi balas dendam dilakukan, emosi yang muncul justru campur aduk.
Bisa jadi lo merasa senang karena akhirnya bisa “membalas”, tapi di saat yang sama lo juga ngerasa tegang, bersalah, atau bahkan khawatir akan balasan berikutnya. Perasaan inilah yang bikin balas dendam jadi pengalaman bittersweet.
Lo pikir itu bakal jadi penutup, tapi ternyata justru membuka babak baru konflik yang nggak kelar-kelar. Korban bisa berubah jadi pelaku, dan pelaku jadi korban lagi. Saling balas dendam menciptakan siklus beracun yang susah diputus.
Ujung-ujungnya, lo bukannya sembuh, malah makin capek secara emosional. Dendam mungkin terasa nikmat di awal, tapi begitu lo masuk ke dalam lingkarannya, lo bakal sadar: yang lo kejar bukan penyelesaian, tapi pembenaran.
Budaya Kehormatan: “Jangan Coba-Coba”

Selain faktor personal dan biologis, dendam juga punya dimensi budaya yang kuat. Di beberapa komunitas, khususnya masyarakat agraris atau peternak tradisional, membalas perlakuan buruk dianggap sebagai bagian dari menjaga kehormatan.
Contohnya di budaya peternak di Amerika Selatan, ternak bukan sekadar sumber penghasilan, tapi simbol status dan nilai keluarga. Jadi kalau ada yang mencuri atau menyakiti, nggak membalas bisa dianggap sebagai tanda kelemahan.
Dalam konteks ini, dendam bukan soal emosi sesaat, tapi bagian dari sistem nilai yang menuntut seseorang menunjukkan kekuatan dan batas. Aksi balas dendam jadi semacam pesan publik: “Gue nggak bisa lo remehin.”
Ini mirip dengan cara masyarakat menjaga reputasi lewat respons yang tegas dan terbuka. Sayangnya, nilai-nilai semacam ini juga bisa mendorong seseorang untuk terus menerus mempertahankan ego, bahkan kalau situasinya udah nggak relevan lagi. Yang dipertahankan bukan penyelesaian, tapi gengsi.
Dengan semua penjelasan di atas, lo jadi bisa lebih jernih menilai kenapa dendam itu terasa begitu kuat. Tapi lo juga harus sadar bahwa efeknya seringkali nggak seindah ekspektasi. Alih-alih sembuh, lo malah terjebak dalam drama yang makin rumit dan emosional.
Kalau lo lagi bergulat dengan rasa pengin bales, mungkin ini saatnya buat berhenti sejenak dan nanya ke diri sendiri: apa yang sebenarnya lo cari? Keadilan? Pengakuan? Rasa lega? Bisa jadi, jalan menuju kedamaian batin bukan lewat membalas, tapi lewat memahami dan melepaskan. Bukan berarti lo harus pasrah, tapi lo bisa pilih untuk nggak terjebak dalam pola yang justru bikin luka makin dalam.
Semoga lo nemuin cara yang paling sehat buat berdamai, ya!
(PC)



Comments