Lo pernah nggak, ngerasa hidup lo kayak stuck di mode autopilot, kerja-pulang, kerja-pulang, terus tiba-tiba ada notif konser atau gigs rame yang lewat di timeline? Kadang, cuma itu sih yang bikin hari Senin lo nggak kerasa kayak neraka banget. 

Nah, musik emang punya power gede buat ngasih warna di hidup yang kadang flat ini. Pertanyaannya, lo lebih tim konser mahal yang vibes-nya kayak pesta sultan, atau tim gigs gratisan yang chaos tapi nagih? 

Gue sempet ngobrol-ngobrol sama beberapa teman yang udah makan asam garam dunia per-gigs-an, siapa tau bisa bantu lo milih medan tempur buat pelarian dari rutinitas.

Sensasi Sultan di Konser Mahal

Suasana konser mahal tuh udah kayak main ke dunia lain. Seriusan deh!

Toro, salah satu temen gue yang nggak pernah setengah-setengah kalau soal konser, bilang kalau dia rela nabung berbulan-bulan buat pengalaman nonton yang bener-bener maksimal. 

“Udah lama banget pengen nonton Envy, dan terbayar karena sesuai ekspektasi yang selama ini gw bayangin haha, real tear dropping moment,” katanya waktu cerita soal Clockenflap Festival di Hongkong. 

Buat dia, konser mahal itu bukan soal gaya-gayaan, tapi lebih ke nikmatin detail yang jarang lo temuin di gigs lokal, dari signage yang jelas sampai panitia yang sigap.

Toro juga santai aja soal lampu terang yang kadang bikin muka lo keliatan kayak baru bangun tidur. Katanya, gigs lokal yang remang-remang itu “Efek ilusi aja, seolah buat band yang main ga down amat kalo yang nonton dikit wkwk.” 

Dan soal fasilitas, dia nggak pelit pujian buat konser luar negeri yang hampir selalu rapi, bersih, dan teratur, beda sama konser di Indonesia yang, yaa... masih butuh banyak improvement.

Gigs Gratisan: Cerita Nggak Ketebak

Gigs gratisan tuh emang beda kelas. Chaos? Udah pasti. Tapi justru itulah hiburannya. Nggak usah pusing duit, tinggal masuk venue sempit, panas, kadang sound hancur, tapi rame sama orang-orang satu selera. Kadang band-nya baru banget, belum ada di Spotify, tiba-tiba moshpit pecah. Seru kan?

Temen gue, Andri, mah nggak peduli tanggal tua, nggak ada temen, yang penting line up-nya oke, pasti berangkat. “Kalau udah demen sama yang main, gue tetep usahain buat dateng,” kata dia.

Salah satu momen epic-nya tuh waktu nonton Post Kiamat Party-nya Rekah di Kemang—baru lulus, ribut sama keluarga, langsung ngibrit ke Jakarta cuma demi nonton formasi band yang nggak bakal keulang. Ketemu temen yang selama ini cuma kenal dari chat, dan itu jadi cerita yang nggak bakal bisa diulangi.

Andri sih lebih suka gigs kecil, remang-remang, penonton nempel panggung, energi dapet banget. Tapi, konser gede juga oke asal “Ada uang ada barang. Kalau konser mahal, produksinya harus megah dan spektakuler,” katanya. 

Soal konser mahal atau gratisan, Andri jelas tim gratisan. Bukan cuma dompet, vibes-nya juga lebih intimate dan sesuai ekspektasi. Pernah zonk di festival besar, artis favorit batal tampil tanpa penjelasan, makin yakin deh musik tuh harus dijalani dengan niat, bukan sekadar cari untung.

Dari Musisi: Gig Gratisan Lebih Santai

Dari sisi musisi sendiri, konser besar itu udah kayak project gede—persiapan teknis ribet, semuanya harus profesional. Beda banget sama gigs gratisan, yang kadang persiapannya cuma bawa alat, cek kabel, terus gas pol. 

Fachri, salah satu musisi, punya cerita sendiri. Dia sering nonton acara musik buat ngeliat band sendiri, penasaran sama lineup, atau sekalian nongkrong bareng temen. Salah satu momen gokil yang dia inget banget itu pas nonton Glitterer 2024. 

“Walaupun ga dengerin Glitterer banget tapi bisa liat frontmannya, Ned Russin yang juga frontman Title Fight, band yang nge-shape musikalitas eug sampai sekarang,” ceritanya.

Fachri bilang konser mahal punya keunggulan di sound dan performance yang lebih niat karena performer sudah dibayar. Tapi gigs gratisan tuh surga interaksi sosial—ketemu teman lama, musisi baru, atau dapat pengalaman random yang kadang nggak kepikiran. 

“Selain karena (((faktor ekonomi))), gw juga lebih suka vibe gig yg intimate, ga banyak orang, dan abis itu bisa nongkrong bahkan sama musisi/band dan juga panitianya,” ujarnya.

Sebagai musisi, Fachri lebih nyaman main di gigs gratis karena tanpa beban. Tapi ia mengakui konser atau festival besar tetap berharga sebagai ajang belajar, mulai dari teknis panggung, hospitality, sampai manajemen durasi set.

Jadi, Mana yang Lebih Seru?

Buat sebagian orang, konser besar itu kayak puncak hiburan hidup. Tiketnya mahal, dress code kadang harus niat, terus lo siap-siap ngelawan pasukan penonton lain demi spot paling kece. Ada sensasi tersendiri tiap kali lampu panggung mulai redup dan nama band idola lo muncul di layar. 

Jadi ya, mau lo tim konser mahal atau anak gigs gratisan, dua-duanya sah-sah aja. Kadang lo butuh euforia besar, kadang juga cuma pengen ngelepas penat bareng temen komunitas. Toh, yang paling penting, lo pulang bawa cerita. 

Musik itu pelarian, tempat lo nemuin warna baru di hidup yang kadang monoton. Pilihan ada di tangan lo sendiri, bro.Yang penting, setelah musiknya berhenti, ada kenangan yang bisa lo ceritain ke anak tongkrongan lain.