Trending
Jumat, 27 Oktober 2017

Tommy A. Siahaan, Berawal dari Hoby Fotografi, Menjadi Karir

  • Share
  • fb-share
Tommy A. Siahaan, Berawal dari Hoby Fotografi, Menjadi Karir

Perjalanan seorang Tommy A. Siahaan  hingga menjadi salah satu fotografer ternama di Indonesia tidaklah mudah. Pria yang saat ini menjadi brand ambassador kamera Leica ini awalnya tidak diperbolehkan untuk menuntut ilmu dalam bidang film dan fotografi, namun setelah ia menyelesaikan pendidikannya, Tommy kembali ke dunia fotografi. Pemilik akun instagram @tommysiahaan ini mengawali karirnya dengan berguru ke salah satu fotografer legendaris Indonesia, Darwis Triadi. MLDspot berkesempatan untuk bertemu dengan Tommy untuk berbincang mengenai koleksi kamera, signature style, dan Pablo Picasso.

 

Kapan Anda mulai tertarik dengan dunia fotografi?

Waktu kecil, ada teman ayah saya yang suka datang ke rumah dan mengajari saya dan kakak saya mengenai fotografi. Sejak itu, saya menjadikan fotografi sebagai hobi saya karena menarik sekali. Setelah tamat SD, saya pindah ke Amerika dan dikasih kamera oleh ayah saya.

Apa saja faktor utama dalam memilih sebuah kamera?

Functionality dan durability nya sih.

 

Apakah koleksi kamera Anda hanya bermerek Leica saja?

Karena ayah saya memperkenalkan dunia fotografi dengan Leica, jadi saya sangat suka dan juga karena itu high-end brand. Saat mulai masuk era digital, saya tidak langsung menggunakan Leica, tapi karena sekarang saya menjadi brand ambassador Leica, jadi saya konsentrasi ke brand  tersebut.

Apa kamera andalan Anda?

Saat ini, saya suka memakai Leica SL, itu professional camera. Seri SL ini mempunyai autofocus dengan lensa sendiri, tapi bisa memakai lensa manual juga.

 

Dari semua kamera dalam koleksi Anda, adakah yang mempunyai nilai sentimentil lebih?

Ada, itu kamera yang adalah hibahan dari ayah saya, Leica M2. Kalau tidak salah, dibuat pada 1960an. Karena itu kamera analog, jadi jarang saya pakai.

Lebih nyaman menggunakan kamera analog atau digital?

Untuk hobi, terkadang masih kangen menggunakan film analog, tapi untuk functionality dan practicality nya ya lebih ke digital, apalagi sekarang kamera-kamera digital hasilnya sudah bagus-bagus. Kalau soal lensa, saya lebih suka lensa manual karena mata kita selalu terlatih, jadi bisa lebih tepat dimana kita mau memberikan titik fokus nya.

 

Banyak orang yang mengatakan, “Jika memang sudah handal, pakai kamera apapun pasti hasilnya bagus.” Bagaimana tanggapan Anda?

Mungkin ada benarnya, dan sebaliknya juga begitu. Ada orang yang penglihatannya sebagai fotografer sudah natural, jadi mau dikasih kamera apa saja, hasilnya pasti bagus. Apapun kameranya, dia bisa memaksimalkan apa yang mau dia capture dari sisi exposure, komposisi, dan angle nya. Karena fotografi itu sebenarnya mewujudkan apa yang ada di benak kita, apa yang mau kita capture, menggunakan kamera. Menurut saya, yang paling penting adalah memakai perasaan satu kita foto. Jadi apa yang mau kita capture itu tersalurkan.

Melihat dari hasil foto-foto Anda, tidak banyak yang di-edit secara berat. Apakah Anda memang sengaja tidak meng-edit secara berat?

Bagi saya, foto saat di-capture harusnya 95% sudah jadi. Harusnya sih 100%, tapi kalau pun perlu di-edit, dari segi brightness atau contrast. Tantangan dan seninya, saat kita memotret, experience of making art sudah ada, maka sebisa mungkin apapun yang kita foto harusnya sudah jadi. Kecuali memang sudah menjadi konsep, seperti untuk commercial photography memang sudah ada layout atau design nya tersendiri, jadi apa yang sudah kita foto harus di-edit.

 

Jadi, menurut Anda, foto yang melalui banyak proses editing mempunyai nilai seni yang kurang?

Sebenarnya ada 2 sudut pandang. Ada yang memang natural shooter, semua yang kita foto, sudah jadi dari segi artistiknya. Ada juga yang memang mengekspresikan sisi artistiknya disaat proses editing.

Apa signature style  dari seorang Tommy Siahaan yang membuat hasil foto Anda berbeda dengan yang lain?

Kalau saya pribadi, karena semua itu instinctual, saya tidak pernah berpikir “oh gayanya harus begini.” Tapi kalau ada orang yang melihat, mereka yang bisa menilai. Banyak orang yang bilang karya saya style nya dramatic, cinematic, agak grungy. Photography is about taste. Orang mau diajari sebagaimana pun juga, pasti balik lagi ke selera pribadinya.

 

Anda masuk ke dunia fotografi awalnya karena hobi. Bagaimana Anda bisa mengubah sesuatu yang awalnya dari hobi hingga menjadi pekerjaan, terutama di bidang fotografi?

Semenjak adanya dunia digital photography, alat-alat sudah menjadi mudah didapat dengan harga yang terjangkau. Siapa pun bisa mendapatkan kamera yang bagus dan menghasilkan foto yang bagus pula. Jadi kembali ke kepribadian dan gaya masing-masing, tujuan kita apa menjadi fotografer. Apakah tujuannya untuk mengekspresikan sisi artistik kita, atau memang untuk mencari uang. Apapun itu, kita harus jujur kepada diri sendiri dan konsisten terhadap style kita, karena tidak bisa dibuat-buat.

 

Ada saran bagi para fotografer pemula yang masih mencari jati diri karya mereka?

Tekuni dulu teori nya, seperti lighting, angle, exposure, dan lain-lain. Setelah kita sudah menguasai rules nya, baru kita coba untuk menyimpang dengan style kita sendiri. Kalau tidak, kita tidak akan tahu bahwa alat A bisa memberikan efek apa, lighting pun mempunyai aksesoris yang dapat menghasilkan efek-efek yang berbeda. Kalau kita tidak tahu itu, kita akan sulit untuk berekspresi. Seperti yang dikatakan Pablo Picasso, “You have to master the rules, to be able to bend them”.

Comments
Ahdan Maulana Muhammad
mantap keren dan informatif...
Epul Saepuloh
Berawal dari hobi