Trending

Dijuluki Bintang Sastra Masa Depan, Siapa Felix Nesi?

Felix Nesi mendadak mendapat sorotan ketika karyanya, Orang-Orang Oetimu, memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018. Para pekerja kreatif yang sudah lebih dulu malang-melintang di dunia seni mengaku menggemari Orang-Orang Oetimu, sebut saja sutradara Edwin dan penulis Leila S Chudori yang secara terbuka, baik lewat wawancara maupun sosial media, mengagumi karya penulisan Felix Nesi tersebut.

Siapa sangka, sebelum kemenangan gemilang di tahun 2018, karya tersebut pernah dikirimkan untuk Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 namun nggak menang. Setelah beberapa kali mengalami perubahan sana-sini, lalu dikirimkan kembali dua tahun setelahnya, Felix Nesi didaulat sebagai pemenang. Simak proses kreatif dan kenal lebih dekat dengan sosok Felix Nesi di sini!

Bintang Sastra Masa Depan

“Sampai sekarang, gue juga belum paham apa maksudnya sastra, yang gue tahu hanyalah menulis cerita. Ketika banyak yang berkomentar kalau tulisan gue adalah novel sastra dan gue sendiri disebut sebagai bintang sastra, gue nggak begitu ambil peduli dengan penyebutan-penyebutan itu,” demikian jawabnya saat ditanyai komentarnya mengenai pelekatan julukan ‘bintang sastra masa depan’ ke dirinya.

Buatnya, menulis adalah sesuatu yang merupakan panggilan. Pemberian gelar dan penghargaan hanyalah sesuatu yang tak lebih penting dari menyuarakan tema-tema sosial nan humanis yang selalu bergema di kepala dan inti sanubarinya.

Mengaku nggak memiliki pengarang favorit ataupun karya spesifik yang menginspirasinya dalam menulis

Mengenai Orang-Orang Oetimu, Felix bercerita kalau kisah ini diangkat berdasarkan pengamatannya akan kehidupan sehari-hari di sekitarnya, termasuk di Dili (Timor Leste) dan Atambua.

Ketidakadilan yang kerap mewarnai kehidupan orang-orang di Timur Indonesia, kepolosan, serta keunikan lokalitasnya, dirangkum Felix dalam Orang-Orang Oetimu menjadi bahasan cerdas yang memberikan perenungan mendalam.

“Gue berharap lewat buku ini pembaca bisa menangkap pesan untuk dirinya sendiri, sesuai dengan pengalamannya sendiri. Gue nggak suka memberi kesan kalau pembaca harus bisa menangkap pesan tertentu pada buku ini. Dibebaskan saja, jadi kalau ada 100 orang yang baca,  ada 100 pesan berbeda tergantung pengalaman masing-masing pembaca,” jelas Felix.

Diedit Berulang-ulang dan Dipindahkan ke Laptop Pinjaman

Bisa dibilang, ada perjuangan besar di balik penulisan Orang-Orang Oetimu. Karya itu sudah diedit berulang-ulang dan mengalami pergantian judul berulang kali. Ada juga pengubahan tokoh serta perubahan lainnya.

“Dulu, ada unsur hujan dalam penulisan draft awal Orang-Orang Oetimu, tapi akhirnya gue hapus bagian itu karena terlalu sendu dan romantis. Sedangkan, setelah dipikir-pikir keromantisan itu nggak pas untuk ditempatkan setelah melalui proses pengeditan yang panjang,” terang Felix.

Perkembangan teknologi dan media sosial menurut Felix memudahkan orang-orang untuk meraih mimpi menjadi penulis

Ketika akhirnya Orang-Orang Oetimu memenangkan sayembara bergengsi dan membuatnya diundang ke pelbagai acara sastra internasional, nggak semua pembaca memberikan tanggapan positif terkait karya itu.

“Nggak semuanya suka sih. Ada yang berkomentar terlalu vulgar, menunjukkan kekerasan, rasisme, ataupun mengandung adegan seks eksplisit. Tapi, ya namanya pembaca bebas ngomonglah kalau menurut gue,” imbuhnya.

Ketika obrolan berpindah tema mengenai proses kreatif seorang penulis, Felix punya opini sendiri. Kalau ada yang mengatakan penulis itu boleh saja menuliskan hal-hal yang nggak dia ketahui, justru buat Felix garis start menulis itu sejatinya harus dari apa yang menjadi keprihatinannya.

“Apa yang mau lo suarakan, lo punya atensi untuk suatu isu, tema yang lo cintai dan nggak cintai, bukan tema yang mengada-ada,” tegasnya.

Punya Cita-Cita Jadi Pemain Bola

Siapa sangka, ternyata mantan mahasiswa psikologi Universitas Merdeka Malang ini dulunya bercita-cita jadi pemain bola. “Dulu, pecutan untuk kesenangan menulis dan membaca itu datang dari lingkungan sekitar. Di kampung gue memang punya tradisi mendongeng, menceritakan kisah turun-temurun ke anak-anak,” kenang Felix. Selain itu, kultur agama juga membuat Felix akrab dengan cerita-cerita dari Alkitab.

Pertama kali karyanya dimuat di surat kabar  dan nggak mendapat honor, namun Felix senang luar biasa

“Ketika mendengarkan cerita ataupun dongeng, ada keinginan untuk menuliskan sesuatu. Hasrat menulis bermula dari situ. Lagian, kalau sudah terlalu banyak membaca, melihat, mendengarkan, tapi nggak menuliskan sesuatu, sepertinya kepala jadi terlalu penuh. Butuh menulis untuk mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan,” terang Felix.

Sebelum menutup perbincangan, penulis yang bercita-cita memiliki rumah sendiri ini sempat memberikan bocoran mengenai proyek menulis selanjutnya. Saat ini Felix sedang mengadakan penelitian mengenai sejarah Timor.

Menurutnya, selama ini sejarah Indonesia adalah sejarah yang terpusat di Jawa. Anak-anak di Timor ketika belajar sejarah Indonesia yang mereka pelajari adalah sejarah Jawa. “Mereka paham apa itu Majapahit, apa itu Borobudur, tapi mereka kadang terlepas dari sejarah Timor itu sendiri,” Felix menjelaskan pandangannya.

Menurutnya, situasi ini adalah sesuatu yang nggak sehat untuk pembentukan karakter anak Timor sebagai bagian dari Indonesia. Ada pemikiran kalau kalau orang-orang Timor itu terbelakang. Padahal jauh sebelum Majapahit ada, bangsa Timor telah berdagang dengan bangsa-bangsa lain sampai ke India dan Tiongkok.

“Gue belum ada rencana menggarap buku baru. Sekarang sedang senang menekuni alat musik feku, alat musik tiup dari Timor. Rencananya, gue akan punya pementasan dengan tiga seniman lain dan akan bikin album bareng mereka. Flute, feku, dan saxophone, sepertinya bakal menarik kalau gue merambah menekuni feku,” tutupnya.

Kalau lo mau cek karya terbaru dan update aktvitas nyeni Felix pantengin langsung Instagram-nya @felixnesi