
Source: Instagram @diskoria.selekta
Lo yang ngikutin perkembangan musik Indonesia pasti udah gak asing lagi sama Diskoria. Selektor musik yang satu ini punya cara unik buat ngeracik musik disco lawas jadi kekinian. Tapi, di balik beat-beat adiktif dan aransemen yang ciamik, ada satu hal lagi yang bikin Diskoria ini makin menarik buat dikulik: semangat kolaborasi mereka yang tanpa batas.
Nah, baru-baru ini gue dapet kesempatan buat ngobrol langsung sama Merdi Simanjuntak, salah satu motor penggerak Diskoria, di sela-sela keseruan acara FRESHPHORIA. Obrolan kita kali ini fokus ke album terbaru mereka yang bertajuk Intonesia. Dari awal, Merdi udah nunjukin antusiasme yang tinggi buat ngebahas album yang satu ini. Bukan cuma soal musiknya, tapi juga keseluruhan konsep di baliknya, termasuk strategi rilis yang mereka anggap punya elemen kejutan tersendiri.
Salah satu hal yang langsung gue tanyain adalah soal pengalaman mereka bisa sepanggung bareng Wijaya80 di HW Superhouse Satrio. Buat lo yang mungkin belum terlalu familiar, HW Superhouse ini lebih dikenal dengan genre musik yang beda dari pakemnya Diskoria atau Wijaya80. Tapi justru di situlah letak keseruannya. Merdi dengan nada sumringah bilang kalo mereka seneng banget bisa tampil di luar ‘zona nyaman’ mereka. “Seneng sih karena untuk bisa main di tempat seperti Superhouse yang notabene musiknya tuh bukan Wijaya80 atau Diskoria banget”, pungkas Merdi.
Menurutnya, disandingkan dengan musisi yang punya visi yang sejalan itu justru bikin semangat buat terus berkarya. Gak kebayang kan kalo mereka harus main di tengah DJ-DJ yang genrenya totally beda, pasti ada rasa tegang atau bahkan kurang ‘klik’. Kehadiran Wijaya80 kayak jadi jembatan yang bikin semuanya terasa lebih asik dan natural.
Bicara Soal Intonesia
Obrolan kita berlanjut ke Intonesia, album yang secara momentum dirilis pas banget 10 tahun perjalanan Diskoria di belantika musik tanah air. Gue penasaran, apakah ini memang target yang sengaja dikejar? “Sebenernya kalo album ini sudah dipersiapkan dari 3 tahun yang lalu. Tapi memang proses pengerjaannya itu memang cukup memakan waktu sehingga memang ketika kita set target optimis rilisnya itu di tahun 2025 yang memang berbarengan dengan 10 tahun Diskoria. Jadi akhirnya kita pikir sekalian aja kita jadiin momentumnya lah,” Merdi menjelaskan.
Gak bisa dipungkiri, salah satu daya tarik visual dari Intonesia adalah artwork albumnya yang ikonik. Hasil sentuhan magis dari Kendra Ahimsa, seorang seniman visual yang karyanya udah malang melintang di dunia seni rupa. Gue langsung penasaran, kenapa Diskoria memilih Kendra dan pesan inspiratif apa yang pengen mereka sampaikan lewat visual yang kuat ini.
Dengan nada penuh kekaguman, Merdi bilang, “Kalo Kendra sih memang kita semua udah ngefans ya. Kayaknya dari dulu kita udah selalu pengen merencanakan kalo punya rilisan ada karyanya dia juga gitu, kolaborasi sama dia gitu. Terus kalo untuk kalo diperhatiin secara detail itu adalah responnya Kendra terhadap apa yang dilihat terhadap Diskoria gitu secara musikal. Makanya kalo diliat Diskoria kan musiknya Indonesia lah. Kita selalu memainkan musik-musik pop Indonesia. Jadi elemen-elemen yang ada di karyanya Kendra di album design Intonesia itu sebenarnya menggambarkan Indonesia banget aja semuanya. Semua detailnya itu ada dari macem-macem, dari sudut-sudut Indonesia, itu dia ambil dan dia ilustrasikan gitu”. Hasilnya adalah sebuah representasi visual dari Bhinneka Tunggal Ika yang dikemas dengan gaya khas Kendra yang nyentrik dan penuh makna. Gokil abis!
Semangat Kolaborasi yang Unik
Source: Instagram @shoutbox.id
Nah, ini dia poin yang menurut gue paling menarik dari Diskoria: semangat kolaborasi mereka yang gak cuma terbatas pada musisi aja. Mereka sering banget menggandeng seniman dari berbagai disiplin, mulai dari visual artist kayak Kendra, sampai aktor dan aktris papan atas seperti Tara Basro, Dian Sastro, dan Joe Taslim. Gue penasaran, apa sih yang jadi pertimbangan utama Diskoria dalam memilih partner kolaborasi?
Jawaban Merdi ternyata cukup sederhana tapi ngena banget: “Apa ya? Kayaknya pasti sih kita harus ngefans dulu ya sama sosoknya gitu. Apapun karya yang dia buat gitu. Makanya mungkin kita pernah kerjasama sama Tara Basro karena kita ngefans sama dia di film-filmnya. Dian Sastro sama Joe Taslim pun kita juga ada. Jadi kayak maksudnya karena kita ngefans gitu, kayaknya kalau kita udah ngefans dan emang kita sama dari dua sisi, udah saling bisa, apa ya, saling punya kekaguman gitu, kayaknya gak susah untuk bisa (kolaborasi). Jadi kalau persyaratannya, gak ada. Emang harus kita paling gak ngefans dulu lah sama orangnya”.
Selain rasa kekaguman, Diskoria juga punya misi untuk memberikan elemen kejutan dalam setiap kolaborasi mereka. Mereka gak mau dicap sebagai unit musik yang gitu-gitu aja dalam memilih teman kolaborasi. Justru, dengan menggandeng seniman dari latar belakang yang berbeda, mereka pengen nunjukin kalo batasan itu sebenarnya gak ada. Yang terpenting adalah kesamaan ide dan semangat untuk menciptakan sesuatu yang baru dan inspiratif. Ini adalah cara Diskoria untuk terus bereksplorasi dan memberikan warna baru dalam setiap karya mereka.
Dari obrolan santai tapi penuh insight bareng Merdi ini, gue makin yakin kalo Diskoria bukan cuma sekadar unit musik yang piawai membangkitkan nostalgia musik disko. Mereka punya visi yang jauh lebih besar, terutama dalam hal kolaborasi dan apresiasi terhadap kekayaan seni dan budaya Indonesia.
Album Intonesia ini bukan cuma sekadar kumpulan lagu, tapi juga sebuah representasi dari semangat kolaborasi lintas batas dan kecintaan mereka terhadap Indonesia. Jadi buat lo yang belum dengerin Intonesia, buruan deh dengerin! Lo bakal nemuin bukan cuma beat yang bikin goyang, tapi juga ide-ide segar dan kolaborasi gokil yang bikin kagum.
Gimana menurut lo, bro? Udah siap buat menyelami Intonesia?
(PC)
Comments