Source: Instagram @wijaya80s
Fenomena Wijaya80 yang tiba-tiba meledak di TikTok gue bahas sama para punggawanya langsung, Ardhito Pramono, Erikson Jayanto, dan Hezky Joe. Lo pasti penasaran kan, gimana sih caranya mereka bisa se-viral itu? Nah, gue langsung tanya tuh ke Hezky, ada nggak sih formula khusus biar karya baru mereka bisa ngikutin jejak kesuksesan lagu sebelumnya.
Jawaban doi santai tapi ngena banget, "Ini pertanyaan menjebak sebenarnya. Well, music is magic. Kayaknya nggak pernah ada formula apapun. Terus kita berkarya pakai hati. Jadi kita percaya kalau apa yang keluar dari hati, akan sampai ke hati lagi. Oke, jadi lebih ke yaudah kita bikin aja sesuai yang pengen kita sampaikan gitu ya." Simpel kan?
Terus gue lanjutin lagi nih, dengan cara yang 'apa adanya' gitu, pede nggak sih mereka bisa narik banyak pendengar buat lagu barunya? Nah, di sini Ardhito nimbrung dengan jawaban yang lebih dalam. "Jujur awalnya nggak pede. Karena dengan cara itu kan nge-embrace kekurangan gue, nge-embrace gue gagal move on, nge-embrace banyak hal negatif yang sebenarnya bisa gue embrace”, jelas Ardhito.
Ardhito lalu melanjutkan, “Gue bisa melihat dari—gue bisa berkaca dari banyak komedian Amerika yang, yang gapapa, maksudnya hidup kita, ya seperti itulah adanya, namun dari kegagalan atau kesedihan, itu bisa menjadi senjata kita untuk bisa jauh lebih maju gitu. Bisa menjadi senjata kita untuk menunjukkan ke dunia kalau nggak apa-apa kok nge-embrace sakit hati, itu nggak apa-apa.”
“Jadi itulah, di Wijaya80 kita mengglorifikasi sakit hati yang dimana orang-orang, mungkin laki-laki itu nggak bercerita. Kecuali Wijaya80. Tapi nggak apa-apa, laki-laki bercerita, it's okay. Cerita di social media, atau cerita sama temen, atau cerita sama keluarga. Yang penting kita nggak sendiri aja." Gokil sih, mereka justru menjadikan embrace the pain itu jadi kekuatan.
Pengaruh Media Sosial Terhadap Karya

Nah, nggak ketinggalan juga nih soal atensi pendek audiens musik zaman sekarang. Gue sempat baca statement Wijaya80 soal ini, dan gue tanya ke Erikson, ngaruh nggak sih sama cara mereka bikin karya? "Mungkin mempengaruhi nggak terlalu ya. Cuman, kalau nggak salah, kita kan lagi di jaman modern gini ya, orang pada pake TikTok, gimana-gimana gitu.
“Mungkin kita lebih milih potongannya tuh yang kita pikir potensial dan deliverycepet gitu. Itu menurutku ngaruh banget. Kan penyebaran lagu tuh di TikTok sekarang cepet banget. Dari sosmed, dari Youtube, dsb. Kayak gitu sih paling." Jadi, kayaknya mereka mencoba untuk lebih pinter mengambil bagian lagu buat 'dipotong' dan disebarin di platform yang lagi rame.
Last but not least, pertanyaan agak nyeleneh dari gue buat Ardhito yang notabene udah punya nama besar. "Ngapain sih nge-band lagi?" Jawabannya Ardhito ini yang bikin gue makin salut sama visi mereka, dan Erikson serta Hezky pun menimpali, mengamini. "Karena band Wijaya80 adalah sebuah, gue nggak bisa bilang ini band ya, ini adalah sebuah entitas,” ucap Ardhito dengan yakin.
“Ini adalah sebuah brand, dimana nggak cuman band Wijaya80 doang. Namun, Wijaya80 adalah sebuah entitas yang bisa mengubah fenomena dalam musik. Yang bisa mengubah, apa namanya, pandangan orang-orang yang mendengarkan musik sekarang. Kita kembali ke era-era tahun 2000-an. Di era-era tahun 97, 95, 96. Saat waktu itu lagi ada pergantian musik antara rock dan segala macam. Dan ya glorifikasi tentang sakit hati."
Formasi ‘Avengers’ Ala Wijaya80

Dia lanjut lagi dengan penuh semangat, ngejelasin formasi "Avengers of the 80s" mereka bertiga. "Mungkin dengan formasi yang ada di sini, ada Erikson Jayanto. Dia adalah sosok produser yang nggak usah ditanyakan lagi, kemampuannya dalam bermusik. Ada Hezky Joe, nggak perlu ditanyakan lagi. Dari pertama kali gue nonton Hezky manggung, gue tau dia adalah penulis yang luar biasa. Pencipta lagu yang luar biasa. Dan performer yang luar biasa. Dan gue adalah, Ardhito aja udah. Jadi kami bertiga adalah formasi yang, well, gue pernah ngomongin di sebuah radio, we are the Avengers of the 80s. And brings the 80s back to 2025. So, nggak apa-apa ber-statement seperti itu."
Intinya, mereka super pede sama brand Wijaya80 ini karena referensi musik 80-an yang mereka punya itu nggak main-main. Ardhito cerita gimana mereka bertiga sampe ngemis-ngemis referensi ke toko kaset Andi di Blok M, dengerin lagu-lagu deep cut era 80-an kayak January Christy dan Utha Likumahuwa. Bahkan, mereka pernah di mobil dengerin "Sri Panggung"-nya Jacky Bahasoan yang diproduseri Fariz RM dan langsung ngerasa "Wah, gila nih".
"Dan kami bertiga punya satu visi yang sama, yaitu adalah, kenapa Wijaya80? Karena menurut kami, originalitas musik, berakhir di 80an. Gak cuman musik, pop culture juga. Pop culture berakhir di tahun 80an. 90an, meng-copy, segala macam," tegas Ardhito. Erikson sendiri nggak bilang "berakhir" sih, tapi lebih ke "cyclic" alias berputar. Tapi Ardhito ngeyakinin lagi soal "kosmik" spesial di era 80-an yang bikin musik saat itu ajaib karena teknologi yang terbatas tapi bisa menghasilkan karya yang luar biasa. Bahkan Ardhito mengutip Vina Panduwinata yang bilang ada "kosmik yang berbeda" di era 80-an yang nggak bisa terulang. Tapi Hezky Joe punya pandangan yang lebih optimis kalau Wijaya80 bisa mengembalikan kejayaan musik 80-an, "Bukan. Terulang, terulang, start di tahun 2025. So, Indonesia, bersiaplah. Hahahaha."
Dari obrolan ini, kelihatan banget kan, bro, kalau Wijaya80 ini bukan cuma sekadar band viral di TikTok. Mereka punya konsep yang kuat, nggak takut beda, dan yang pasti, punya referensi musik yang dalam banget. Mereka kayak mau ngajak kita semua ngerasain lagi vibe musik 80-an dengan sentuhan masa kini. Patut banget buat diikutin nih perjalanan mereka dan ditiru kepedeannya!
(PC)



Comments