Trending
Kamis, 15 Agustus 2019

Mengenal Lebih Dekat Band Asal Yogyakarta, Tashoora

  • Share
  • fb-share
Mengenal Lebih Dekat Band Asal Yogyakarta, Tashoora

Unit chamber pop asal Yogyakarta, Tashoora, punya segudang amunisi buat mencuri hati para pencinta musik. Di umurnya yang masih muda dan baru mengantongi satu mini album, manuver mereka di belantika musik Tanah Air kian 'berbahaya'. Sampai-sampai Spotify menobatkan mereka sebagai "Early Noise 2019".

Tanggal 14 Agustus kemarin, panggung MLDSPOT Stage Bus Jazz Tour di Yogyakarta kembali menjadi ajang pembuktian Danang Joedodarmo (gitar, vokal), Dita Permatas (akordion, keyboard, vokal), Gusti Arirang (bass, vokal), Sasi Kirono (gitar, vokal), dan Mahesa Santoso (drum). Membawakan 8 lagu andalan, Tashoora berhasil memanaskan suasana dan menampilkan aksi panggung yang energik. Dengan vokal keroyokan, mereka seakan bahu membahu menyuguhkan barisan lirik puitis, yang kadang terdengar lirih, namun tidak jarang pula begitu bertenaga.

Kesempatan ini tentunya perlu dimanfaatkan. Usai mereka turun dari panggung, MLDSPOT langsung menyelinap ke backstage dan menculik Danang Joedodarmo, otak kreatif di balik Tashoora buat membuka sesi interview. Berlangsung lebih dari 30 menit, pemain gitar dan vokalis bergaya boho ini menceritakan perjalanan awal Tashoora dan inspirasi mereka dalam bermusik. Seperti apa obrolannya? Simak langsung, yuk!

 

Kita mulai dari awal. Boleh ceritain gimana awalnya Tashoora bisa terbentuk?

Tahun 2016, Danu, mantan pemain biola kita dan Dita mau bikin project instrumental untuk mengiisi bulan puasa. Sudah rekaman satu lagu, gue ikutan ngisi bass waktu itu. Terus, gitaris Tashoora yang sekarang, Sasi namanya, itu jadi sound engineer-nya. Setelah selesai kita ngobrol lagi, “Eh mau bikin apalagi, nih?” Nah, waktu itu ada Tribute to Efek Rumah Kaca, open submission dari Ripstore Asia sama Common Creative Indonesia, akhirnya kita ikutan.

Kita ngerekam lagunya ERK yang “Desember” waktu itu. Terus kita submit dengan nama Tashoora, karena itu nama jalan rumahnya Dita di Jl Tasura. Kita kalo latihan, nongkrong dan makan juga di daerah situ, yaudah nama Tashoora kita pilih. Kita resmi berdiri September 2016.

Ternyata, lagu yang kita submit itu masuk ke album Tribute to Efek Rumah Kaca, bareng Puti Chitara, Bottlesmoker, ada Fiersa Besari. Lucu deh kalo sekarang liat album itu hahaha. Kita akhirnya memutuskan buat lanjut.

 

Masih ingat panggung pertama kalian?

Agustus 2017, seorang teman ada yang bikin acara di rooftop-nya Canting, namanya Sunday Sunset. Mereka nanya ke gue, “Nang, ada band baru apa, nih?” Gue kasih aja project-an baru Tashoora ini.

Akhirnya mereka mau dan itu jadi panggung pertama kita. Pertama main, Cuma bantuin acara temen aja. Masih banyak miss-nya hahaha.

 

Ngomongin personil di Tashoora, udah ada pergantian belum? Kalo udah, sekarang formasi ke berapa?

Udah ada. Satu... Dua... Tiga.. (menghitung), empat! Ini formasi ke-4 Tashoora dan masih berproses.

 

Kabarnya, musik Tashoora itu terinspirasi dari musik Eropa Timur dan Mongol. Betul?

Betul. Gue pribadi suka banget ngulik lagu folk. Apalagi 2012-2013, sejak Mumford & Sons naik. Ternyata musik seperti ini tuh jangkauannya bisa luas banget. Bisa dalem banget nguliknya. Akhirnya nyangkutnya di musik-musik Eropa Timur.

 

So, lo bisa bilang Tashoora itu band dengan genre apa?

Dalam prosesnya kita nggak pernah "main ini yuk!" Atau "harus rock! Alternatif!" Jadinya ya seperti Tashoora sekarang. Cuma ada beberapa yang bilang musik kita itu chamber pop atau alternative rock.

 

Gimana sih cara kalian menghasilkan karya? Masing-masing punya materi atau ngerjainnya bareng?

Kalo lagu dan lirik yang buat itu selalu gue sama Gusti. Begitu masuk aransemen, kita lempar ke Dita sama Sasi. Soalnya mereka yang anaknya musik banget, "nggak boleh nih! Yang ini disonan, yang ini nabrak" Wah gue kurang paham hahaha.

 

Apa sih yang membuat setiap lirik lagu kalian itu cukup kuat dan sarat makna?

Lagu Tashoora itu selalu berangkat dari sebuah peristiwa atau keadaaan. Ada kejadian apa kita jadiin lagu. Misalnya di lagu “Tatap”. Cerita awalnya itu tentang peristiwa-peristiwa yang rasanya, tuhan sendiri dijadikan alat atau mainan. Satu bait favorit gue di lagu itu "manusia adalah boneka dengan tali yang terjulur ke angkasa".

 

Di video musik Tatap, Live at Padepokan Seni Bagong Kussudiarja, beberapa komentar merespon membandingkan Tashoora dengan Barasuara. Pendapat lo gimana?

Ada cerita seru nih. Jadi, gue sudah ngikutin Marco sama Gerald Barasuara dari zaman Sketsa. Dulu Marco adalah drummer-nya Afgan & Raisa. Terus TJ, dulu itu ngeband sama kakak gue. Puti juga, seinget gue kita saling follow di Soundcloud.

Pas gue mau rilis lagu pertama Tashoora, dua orang pertama yang gue temui itu Marco sama Gerald. Menurut mereka lagunya bagus dan excited banget nunggu perilisannya. Dan mereka sering denger juga, "Katanya band Danang mirip Barasuara?" Even mereka sendiri nggak denger ada mirip-miripnya. Mungkin ada kemiripan karena 2 vokalis wanita, satu pria. Tapi kan beda instrumen. Cara nyanyinya juga beda.

April kemarin kalian rilis single berjudul "Hitam", ya. Sekilas, liriknya berbicara tentang hukuman primitif di Indonesia. Memang apa pandangan kalian tentang peraturan tersebut?

Hukuman mati di Indonesia itu mainly jatuh ke tiga jenis kriminal; 1. Terorisme 2. Pengedar narkoba dan 3. Kejahatan besar kayak pembunuhan berencana. Dua poin pertama yang paling menarik, angkanya itu naik terus. Menurut kita hukuman mati itu bukan solusinya. Video klip lagu ini dibuat sama Wregas Bhatuneja. Dia merespon lagu ini lebih ke psikologis orang yang dijatuhkan hukuman mati. Tonton langsung video klipnya buat yang belum tau.

 

Tashoora sepertinya cukup concern dengan stage act, kalau dikatakan gaya kalian itu lebih ke boho atau spirit bohemian. Benarkah?

Jadi, di awal-awal itu cuma gue yang berpakaian kayak gini. Suatu saat, temen gue ngomong, "Nang, baju lo itu agak bohemian. Cocok lah sama lo". Bohemian sendiri itu orang-orang yang menolak kemapanan. Bukan materi doang. Tapi sosialnya juga. Mereka selalu mendobrak norma. Nggak lama, akhirnya Gusti suka juga. Kalo gue lagi cari-cari baju, dia ikut. Dan ternyata cocok-cocok.

 

Apakah ada kemungkinan mengubah penampilan?

Kalo gue sih hari-hari kayak gini, hahaha. Kalo di Tashoora balik lagi, terserah selera masing-masing personilnya. Itu kadang Sasi bisa pakai kemeja hitam, bawahannya jeans. Di akun Instagram Tashoora, keliatannya kalian lagi sibuk mempersiapkan sesuatu nih sama Kuaetnika. Boleh kasih bocoran?

Album! Nantinya, album penuh kita akan rilis akhir tahun. 5 lagu live yang ada di EP 2018 akan kita buat versi studionya. Di setiap lagu, kita akan berkolaborasi bareng musisi yang berbeda-beda. Ada Gardika Gigih, Feast, kemudian Rubah di Selatan, vokalisnya Mustache and Beard dan Kuaetnika. Nah, di album nanti kita tambah 4 lagu baru, "Hitam", "Surya", "Agni" dan "Distilasi". Buat "Distilasi", lagu ini baru pertama kali kita mainin di Prambanan Jazz 2019 kemarin.

 

Pertanyaan terakhir nih, kasih 3 alasan dong, kenapa penikmat musik harus mendengarkan Tashoora?

Susah. Apa ya. Mungkin karena kita ikhtiar, terus banyak cerita-cerita seru yang kita angkat di lagu dan wajib kenalan lah sama Tashoora, hahaha.

 

Jauh dari kata ‘rock star’, mereka sangat humble dengan siapapun. Membuat 30 menit terasa sangatlah cepat. Buat lo yang penasaran seperi apa Tashoora langsung aja check karya-karya mereka, Urbaners!

 

Hyperlink: Artikel recap

Comments
Susiana Saputri
Mantap banget
RAHARDJO TEONOVI
Betul. Gue pribadi suka banget ngulik lagu folk. Apalagi 2012-2013, sejak Mumford & Sons naik. Ternyata musik seperti ini tuh jangkauannya bisa luas banget. Bisa dalem banget nguliknya. Akhirnya nyangkutnya di musik-musik Eropa Timur.