Trending
Jumat, 24 Februari 2017

Larry Aswin: Pria Dibalik Jingle Iklan Kece

  • Share
  • fb-share
Larry Aswin: Pria Dibalik Jingle Iklan Kece

Sebuah karya visual akan lebih indah bila dicampur dengan audio yang cocok. Estetika gabungan audio-visual tersebut tentu bukan hal baru dalam video-video di dunia periklanan yang sering lo lihat. Dalam iklan-iklan berformat video itu biasanya kalian menemukan sebuah jingle, slogan pendek dengan nada tertentu yang biasanya diciptakan agar mudah diingat. Faktor penting dalam suatu iklan.

Sebetulnya siapa orang di balik jingle-jingle catchy tersebut? Mari berkenalan dengan salah satu jingle writer terbaik Indonesia: Larry Aswin.

Ia bukan orang baru di dunia jingle. Menurut arsipnya, sudah 500 iklan selama hampir 8 tahun bergerak di bidang ini yang musik latarnya diramu oleh kepiawaian Larry. Pria lulusan Berklee University ini memulai lagi karirnya sebagai musisi, namun terhambat karena harus memprioritaskan kegiatan lainnya terutama karirnya sebagai Jingle Writer.

                                                                                           

Lo bermusik dari tahun 2003, mengapa baru muncul ke dunia musik dengan membawa nama sendiri (Larry Aswin) baru-baru ini?

Kalo kepikiran sih udah lama ya, cuman karena gue ini lebih ke produser ketimbang sebagai artisnya. Kalo jaman dulu itu kan nama atau suatu grup itu kan disejajarkan dengan act-nya. Tapi makin kesini, banyak produser yang muncul sebagai produser, nah karena gue ini musisi yang kebetulan banyak di layar belakangnya ketimbang di atas stage. Jadi gue mikir saat ini adalah waktu yang tepat untuk gue bawa nama sendiri, karena sekarang ini engga musti lo sebagai penyanyi atau sebagai pemain instrumen, tapi banyak DJ-DJ juga yang base-nya mereka adalah produser, buka mereka sendiri yang nyanyi, kaya misalnya Zedd gitu kan, dia bawa namanya sebagai produser. Dan kebetulan di genre (musik) dance ini (karena gue ngusung musiknya lebih ke dance) sebagai produser itu mereka sangat support di dancing ketimbang di scene-scene yang lain. Itu sih, karena sekarang adalah waktu yang tepat, kalo dulu misalnya gue rilis, gue bingung nanti kalo dipanggil, gue main/perform sebagai apa.

 

Dalam memasukan unsur jazz, ada cerita tersendiri?

Awal mulanya, dulu gue kuliah di Berklee. Berklee itu sebenernya contemporary music, tapi engga tau kenapa di Amerikanya sendiri itu udah dilabeli sebagai sekolah jazz. Tapi memang, kalo lo mau belajar musik, lo kan ga akan stop di (genre) pop kan?. Kalo mau mendalami musik, lo harus menggali yang sedikit kompleks dan jazz itu salah satu sarananya. Dan kebetulan gue suka juga jazz, not only listening to it, but producing it.  Tapi makin kesini ya gue gamau terlalu dikotakin jazz juga sih, hahaha. Setelah pulang (ke Jakarta) gue juga lebih banyak di komunitas Ponpin (Pondok Pinang) di situ ada Indra Lesmana, Aksan Sjuman, Eki dan Heru Humania, ada anak-anak Kahitna juga, dll.

 

Kesulitan tententu dalam memproduksi suatu karya?

Kesulitan banyak, dan salah satu kesulitan terbesar adalah berpikir apa kata orang nanti. Karena musik itu kalo kita sebagai produser, composer, kita menciptakan suatu karya, karya itu kan engga kita simpen sendiri. Tapi yang bikin karya itu menjadi bagus kan kalo kita share. Dan persepsi/tanggapan orang pasti beda. Yang paling gokil itu pergumulan dari dalam diri lo sebagai seniman adalah apa kata orang nanti. Cuman kalo menurut gue, musik itu adalah sesuatu untuk di-share. Kalo misalnya cuman gue doang yang suka, buat apa?. Tapi ya kendalanya itu sih. Gimana nempatin otak gue di audience.

 

Jingle Writer, Music Producer, Arranger, Programmer, Audio Engineer, DJ, Business Owner, bagaimana cara Larry mengatur waktu?

Prioritas tertentu pasti ada. Mungkin orang-orang dulu kenal gue dari Sova, gue sempet vakum karena ada prioritas tertentu. Di jingle ini, emang kita bikin musik, tapi dunianya 180 derajat beda ketimbang industri musik, jingle ini industri advertising, base-nya adalah service, lo order - gue bikin. Gue selama 8 tahun itu engga bisa berkutik banyak, karena kalo di jingle itu susah, industrinya beda. Kalo di musik itu bisa kanan-kiri, ibaratnya gue bisa nge-jazz, besok gue bisa nge-pop, besoknya lagi edm, cuman kalo di jingle itu yang penting lo deliver, kerjaan selesai, yang pengen klien tau itu aja.

Di jingle itu kalo ditinggalin (engga sebagai full-time) itu job-nya akan timpang, ga pernah tentu. Gue stick di jingle, karena waktu itu situasinya lagi bagus pas gue mulai sebagai full-time jingle writer. Jingle kalo misalnya lo tinggalin mereka (klien) akan segitu cepetnya pindah ke orang lain. Jadi industri periklanan itu yang penting lo deliver. Gue di jingle udah 7-8 tahun full-time, dan menurut gue semakin kesini itu industri periklanan sekarang itu semakin menurun. Ibarat dulu sebulan gue bisa ngerjain 10 iklan sekarang paling 3-4, nah momentum itu gue gunakan untuk mengisi kegiatan gue yang lain, yang dulu sempet tertahan, salah satunya sebagai musisi ini.

 

Pandangan Larry terhadap industri Indonesia musik secara general?

Jujur aja gue dapet duitnya bukan dari musik yang gue rilis, tapi dari jingle. Menurut gue industri musik disini kaitannya antara pertama lo mencari fame, kedua itu money. Dan menurut gue industrinya lagi susah banget. Itu pilihan tapi kalo menurut gue.

Kaya misalnya gue, gue 7 tahun berkecimpung di bidang ini sementara gue liat di facebook, temen-temen gue, gila, dia main (manggung) di Bali, sebagai musisi lo dapet hotel bintang 5 misalnya, lo dibayar melakukan sesuatu yang lo suka, itu happy banget. Tapi semua (musisi/artis-artis) punya history juga (untuk mencapai itu). Atau gua pun punya history, sekarang gue jingle syukur-syukur, puji Tuhan gue ga nyari job lagi, job dateng aja terus. Cuman industri ini bisa dibentuk bukan dari konsumennya, tapi kitanya sendiri bisa membentuk. Karena konsumen masyarakat Indonesia ini yang kritis engga sebanyak di negara maju. Jadi sebagai manusia Indonesia lebih milih kita yang dibawa bukan yang ngebawa.

Dari kacamata gue dari musisi jingle, ini bukan pekerjaan yang gampang. Gua ngeliat, seorang bassist seperti Mates, gua ngeliat dia dari dulu sampe sekarang sebagai musisi konsisten, kalo gue konsisten grafik gua harus makin naik, tapi misalnya kaya mereka ini dalam permainan, dalam skill, dalam peng-kayaan dirinya atau musikalitasnya pasti meningkat, cuman penghargaan terhadap mereka itu masih sangat minim, jadi gue ngeliat temen-temen gue kaya begitu bisa dibilang profesi sebagai musisi ini masih sangat riskan. Tapi kalo lo emang niat akan “make it” ya "make it”.

Comments
SAWI TRI
Kaya misalnya gue, gue 7 tahun berkecimpung di bidang ini sementara gue liat di facebook, temen-temen gue, gila, dia main (manggung) di Bali, sebagai musisi lo dapet hotel bintang 5 misalnya, lo dibayar melakukan sesuatu yang lo suka, itu happy banget. Tapi semua (musisi/artis-artis) punya history juga (untuk mencapai itu). Atau gua pun punya history, sekarang gue jingle syukur-syukur, puji Tuhan gue ga nyari job lagi, job dateng aja terus. Cuman industri ini bisa dibentuk bukan dari konsumennya, tapi kitanya sendiri bisa membentuk. Karena konsumen masyarakat Indonesia ini yang kritis engga sebanyak di negara maju. Jadi sebagai manusia Indonesia lebih milih kita yang dibawa bukan yang ngebawa.
Miftachul Rahardoni
keren banget