Trending
Senin, 21 Agustus 2017

Barry Likumahuwa: "Musik Sudah Kayak Nafas Kedua Saya"

  • Share
  • fb-share
Barry Likumahuwa: "Musik Sudah Kayak Nafas Kedua Saya"

Industri musik Indonesia memiliki banyak sekali musisi-musisi hebat yang udah nggak diragukan lagi karya-karyanya, salah satunya adalah bassist Barry Likumahuwa. Musisi kelahiran Jakarta, 14 Juni 1983 ini dibesarkan dalam keluarga yang dekat sekali dengan dunia seni, lantas hal itu membuatnya juga ikut terjun berkecimpung di dunia seni, khususnya musik. Musik bagaikan nafas kedua bagi seorang Barry Likumahuwa. Sudah lebih dari 10 tahun keponakan dari penyanyi (Alm.) Utha Likumahuwa ini menjalani karirnya sebagai musisi, kepiawaiannya bermain bass menjadikannya salah satu musisi Indonesia yang diperhitungkan. Tahun 2006, Barry membentuk sebuah band yang diberi nama Barry Likumahuwa Project (BLP). Dalam band tersebut, bassist yang memiliki nama lengkap Elseos Jeberani Emanuel Likumahuwa ini juga berperan sebagai frontman. Well, bisa dibilang ini adalah sesuatu hal yang masih jarang ada, biasanya yang menjadi frontman dalam sebuah band adalah sang vokalis. Namun, Barry sebagai bassist mampu menempatkan dirinya sebagai leader yang sangat bijaksana. Tentu saja menjadi frontman juga bukanlah suatu hal yang mudah, itulah yang dialami oleh Barry Likumahuwa. Simak obrolan seru dengan Barry Likumahuwa seputar karir bermusiknya dan pengalamannya sebagai frontman.

 

Musik dalam kehidupan Barry Likumahuwa itu seperti apa?

Barry Likumahuwa

Musik udah kayak nafas kedua saya ya, saya besar di keluarga yang memang hampir semuanya musisi, papa saya musisi, mama saya penyanyi, Om saya (Alm. Utha Likumahuwa) juga penyanyi, kakak-kakak saya pun beberapa ada yang di musik juga. Jadi, buat saya musik udah bisa saya bilang nafas kedua ya, makanan sehari-hari karena bahasa yang ada di rumah selain bahasa sehari-hari adalah bahasa musik, gitu.

 

Bekerja di bidang seni juga bukan suatu hal yang mudah juga, persaingan pasti ada dan banyak banget. Bagaimana lo memandang hal tersebut?

Buat saya sih, kalau kita mau bersaing akhirnya kita jadikan itu sebuah kompetisi yang tidak sehat, begitu. Kalau buat saya, tetap yang menjadi tolak ukurnya adalah karya, seberapa pun kita mau bersaing, apapun caranya kita bersaing, tetap berkarya menjadi tolak ukurnya buat saya. Dalam artian begini, misalkan ada artist baru keluar, “Oh, dandanannya kayak begini”, kita ikutin dandanannya dia atau kita berusaha lebih keren dari dia, nggak akan ada abisnya, besok bakal keluar lagi yang lebih keren, dua hari lagi akan ada yang lebih keren, minggu depan ada lagi, tahun depan juga akan ada terus. Tapi, kalau kita tolak ukurnya karya karena kita memang musisi, artist gitu ya dalam artian “art-ist” gitu ya maksudnya seorang pekerja seni yang dinilai dari kita adalah “art”nya. Jadi, buat saya apapun yang ada setelah itu, it doesn’t define the artist himself gitu, tetap artist tolak ukurnya adalah art-nya atau karyanya. Nah, gimana caranya supaya kita bisa berkompetisi dengan sehat? Ya, kita berkarya sebaik-baiknya, pada akhirnya karya itu menentukan dan ketika kita berkarya, karya itu harusnya menjadi karakter kita sendiri, gitu. Jadi, otomatis kita akan stand out karena kita beda nggak ikut-ikut yang lain, yang susahkan kalau orang ingin berkarya tapi dia ingin relevan. Relevan itu menurut saya, harus relevan memang penting, tapi, gimana caranya tetap punya warnanya sendiri, supaya nggak jadi ikut-ikutan doang dan akhirnya malah hilang ditelan gitu aja. Pendengarnya juga pasti ada, saya kasih contoh Pharrell William lah, dia mulai hits lagi waktu dia dengan “Happy” tahun 2014 ya, tapi dari sekitar 2011 sampai 2013 itu dia diam, dia nggak ngapa-ngapain, dia vakum. Alasannya apa? Simple, karena menurut dia pada saat itu musiknya lagi nggak ke arah musiknya dia. Jadi, menurut dia, “Mendingan gue diem dulu daripada ikut-ikutan yang lain”, gitu dia bilang, lebih baik diam dulu dan nggak berkarya dulu, kalau ada paling dia di belakang layar aja, itu yang dilakukan selama dua tahun, setelah itu dia ngerasa, “Oke, ini moment-nya untuk gue come back”, begitu dia come back dengan Daft Punk waktu itu, lalu dia berjalan terus ya sampai sekarang. Mungkin, setelah ini dia akan diem lagi, santai lagi. Jadi, memang buat saya semua ada siklusnya, semua ada fasenya, nah, gimana caranya kita sebagai artist/musisi kita melihat itu, jangan dijadikan sebuah beban tetapi jadikan sebuah tantangan aja, gitu. Kalau ikut-ikut jadi nggak jujur banget, jadinya kita jadi bunglon.

 

Dari sekian banyak instrument dan genre musik, kenapa memilih bass dan jazz?

Buat saya, kita menjadi diri kita terbaik ketika kita melakukan sesuatu yang kita cintai. Nah, saya tahu banget purpose saya ada di dunia ini, saya didesain sama Tuhan untuk menjalani apa yang saya jalani sekarang, gitu. Tapi, kalau ditanya kenapa bass? Entah kenapa memang tertarik, karena bass itu jadi kayak sebuah instrument yang biasanya ada di belakang layar, tapi bisa juga ada di depan layar, bisa juga dia sebagai spotlight, bisa juga dia hanya sebagai back-up, itu yang saya suka dari bass dan itu yang membuat saya tertantang untuk mengeksplor lebih jauh. Kalau kita berbicara kenapa jazz? Sama saja seperti yang saya bilang bahwa musik itu bahasa, dalam artian kalau di rumah dulu saya dengerinnya keroncong pasti saya jadi musisi keroncong, kalau di rumah dengerinnya dangdut, saya pasti jadi musisi dangdut, tapi karena di rumah dengerinnya jazz, saya jadi musisi jazz. Nah, itu suatu yang obvious, karena buat saya musik itu bahasa, kalau di rumah biasa bahasanya Sunda walaupun keluarganya orang Ambon, pasti mereka ngomong Sunda, saya punya banyak saudara yang tinggalnya di Surabaya padahal mukanya Ambon banget, begitu ngomong ya Surabaya saja. Musik tuh seperti itu, apa yang kita dengar setiap hari, itu menjadi bahasanya kita dan akhirnya kita menjadi terbiasa berekspresi dengan bahasa itu.

 

Nggak mencoba ke genre yang lain?

Saya selalu berkolaborasi dan saya selalu eksplor ke musik lain. Saya kan kalau dilihat ke belakang, pekerjaan saya pun ketika saya produce melibatkan banyak jenis musik. Contoh, saya ngerjain buat Kunto Aji, Kunto Aji notabene pop walaupun banyak orang nganggepnya jazz, tapi sebetulnya dia pop, dan musik saya bisa disesuaikan dengan musiknya dia. Paling terakhir saya kerja bersama T-Five, saya remake lagunya T-Five, belum dirilis tapi nanti akan dirilis, itu juga beda lagi musiknya. Sebenarnya, saya bekerja dengan banyak musisi yang berbeda genre, tapi buat saya warnya Barry Likumahuwa tetap Barry Likumahuwa, tapi ketika sedang berkolaborasi dengan orang, sedang bantu orang sebagai produser, saya bisa berubah jadi siapa saja gitu, maksudnya saya nggak bisa maksain warna saya di musiknya Aji, saya yang menyesuaikan diri sama dia. Jadi, kalau ditanya nggak nyoba musik lain? Saya nyoba terus, cuma memang ketika saya mencoba, brand-nya bukan sebagai seorang Barry, supaya orang juga nggak confused dan musiknya saya juga jadi nggak berubah.

 

Dulu juga sempat menggunakan nama Barry Likoe sebagai nama panggung, kenapa? Bukannya nama Likumahuwa bisa menjadi sesuatu yang dibanggakan?

Barry Likumahuwa

Saya nggak suka banget gitu, maksudnya saya yakin musik tuh nggak salah satu hal yang paling pure yang ada di dunia ya. Maksudnya, kita nggak bisa KKN tuh di musik, nggak bisa korupsi-korupsi atau nepotisme, buat saya korupsi dan nepotisme tuh nggak banget, kalau kita hanya mengandalkan nama besar keluarga kita, kita nggak akan jadi apa-apa sebetulnya, dan orang akan selalu mengasosiasikan seseorang dengan keluarganya. Contoh, anaknya Clint Eastwood sekarang main film, semua orang tau dia anaknya Eastwood, semua orang senang sama dia karena dia anaknya Clint Eastwood. Itu menjadi masalah gitu, akhirnya dia dibanding-bandingkan dengan bapaknya, itu yang saya alamin juga, tapi, yang saya nggak suka waktu saya dulu datang ke studio misalnya, orang nggak tahu saya siapa, saya masih muda, pemain bass baru belajar, datang ke studio dijutekin semua orang, judes, males ngeliatinnya, tapi begitu dibilang, “Oh, ini anaknya Benny Likumahuwa”, langsung berubah raut mukanya, “Oh, anaknya Om Benny, apa kabar?” Saya nggak suka perlakuan kayak gitu. Maksudnya, saya nggak merasa hal itu sebagai sebuah privilege, saya merasa malah itu suatu hal yang sangat merendahkan, maksudnya kenapa tadi pas gue masuk ruangan lo nggak bisa menghargai gue, begitu tahu bapak gue siapa, lo menghargai gue. Saya lebih prefer, lo nggak tahu gue siapa, kita main, begitu gue selesai main, lo bisa bilang, “Oh, lo pemain bass yang asik ya”, Dan, itu yang saya lakuin dengan nama Barry Likoe. Mereka nggak ada yang tahu siapa Barry Likoe? Begitu saya masuk studio, mereka jutek, setelah saya selesai main, mereka bilang “Wah, lo asik banget,” baru saya jelasin Likoe itu Likumahuwa, “Oh, lo tuh anaknya si ini”, itu buat saya jauh lebih menyenangkan. Itu alesannya dulu akhirnya pakai nama Likoe.

 

Nah, sekarang kenapa memutuskan untuk kembali menggunakan nama Likumahuwa?

Waktu itu saya merasa sudah mendapat cukup respect, saya udah gain respect yang cukup dan orang udah nggak mengasosiasikan bahkan waktu itu yang bikin saya pede karena banyak yang bilang, “Oh, Barry tuh anaknya Utha Likumahuwa?” Salah, “Oh, Barry tuh ternyata anaknya Utha Likumahuwa ya, bapaknya bisa nyanyi, anaknya bisa main musik”, salah, “Saya itu anaknya Benny”, dari situ saya ngeliat berarti orang sudah tidak mengasosiasikan saya lagi dengan Benny, gitu. Dan, waktu itu juga kebetulan papa saya datang ke acara, saya lagi main dan nama saya ada di buku acara, bahas Barry Likoe, dia kecewa ya, dia tanya ke mama, “Kenapa sih si Barry nggak mau pakai nama keluarga?” Sementara saya memang anak lelaki satu-satunya dan saya yang meneruskan nama Likumahuwa dari klannya dia, jadi memang ya, yaudah oke gue putusin untuk pakai. Satu setengah tahun saya berjalan dengan nama itu, dan yaudah lah, saya udah cukup kok, respect-nya udah dapet, akhirnya balik lagi pakai nama Likumahuwa.

 

Tahun 2008 kan sempat merilis album solo, sedangkan Barry Likumahuwa Project (BLP) udah kebentuk dari tahun 2006. Kenapa munculnya duluan album solonya gitu?

Barry Likumahuwa

Wah, ini penjelasan yang seru nih. Ini keren nih, tumben nih ada yang interview kayak gini. Oke, jadi sebenarnya gini, 2006 itu pertama kali perform dengan Barry Likumahuwa Project. Jadi, waktu itu saya disuruh bikin band sama om Ireng Maulana (Almarhum), “Si Barry suruh bikin band lah”, bilang ke mama saya, waktu itu kan JakJazz, “Ini bagian JakJazz kita perlu band yang anak muda nih, Barry suruh bikinin lah. Dia punya band nggak?” “Nggak punya”, gitu, saya waktu itu masih ngiringin Glenn, tapi kalau emang harus bikin, oke gue bikin deh cepet, gitu kan. “Oke, mam, bikin deh, bilang aja bisa”, gitu kan, saya carilah orang-orang yang ada, waktu itu saya ajak semua yang mengiringi Glenn, ada Andre Dinuth, ada Nicky Manuputty, waktu itu ada keyboardisnya namanya Hani, pokoknya saya ajak semua yang saya udah tahu, oke, gue ajak bantuin gue deh, “Nama band-nya apa?” Kalau mau pakai nama Barry Likumahuwa aja orang belum terlalu tahu dan kesannya kok “koki” banget ya, gue belum apa-apa udah pakai nama Barry Likumahuwa, kesannya tuh “Lo siapa?” Jadi, saya ganti, udah deh pakein “Project” aja di belakang deh, biar kesannya ini emang projekan aja, yaudah, jadilah Barry Likumahuwa Project. Dan, memang awalnya nggak pengen ini tuh dijadiin sebuah band, awalnya itu memang hanya additional player, makanya dari 2006 sampai 2008 kalau pun perform dengan Barry Likumahuwa Project personelnya ganti terus, drummernya beda, nanti kadang-kadang nggak pakai pemain saxophone, beda-beda terus. Nah, 2008 ketika saya rilis, karena memang tidak pernah punya visi punya band, saya rilislah dengan nama Barry Likumahuwa sebagai album solo karena Barry Likumahuwa Project belum ada sebagai BLP, tapi, hanya sebagai Barry Likumahuwa Project aja, belum bentuk band yang solid. Tapi, begitu rilis album, makin banyak kan manggungnya, saya butuh tim. Nah, timnya dikumpulin akhirnya dia-dia terus yang main, waktu udah tinggal dia-dia terus yang main, Barry Likumahuwa Project udah mulai berjalan, orang mulai mengasosiasikan Barry Likumahuwa Project dengan BLP. Oh, ternyata ini sebagai band seru ya, tim yang ini seru, akhirnya saya ngajak mereka, “Mau nggak kita bikin ini jadi sebuah band?” Dan mereka mau, makanya baru setelah itu kita pakai nama BLP dan 2011 baru rilis album as BLP, gitu.

 

Oh, jadi yang benar-benar BLP-nya itu jadi sebuah band baru tahun 2011?

Iya, as a band baru tahun 2011.

 

Bisa dibilang di BLP ini lo berperan sebagai “frontman”. Pandangan lo sebagai frontman dalam sebuah band itu seperti apa? Apakah segala sesuatunya bergantung pada frontman?

Waktu saya di BLP, nggak. Karena, buat saya waktu kita di BLP kita sebagai tim, saya menjadi pengambil keputusan terakhir, tapi, teman-teman yang lain harus memberi masukan, makanya dulu itu yang berubah total ketika kita memutuskan jadi band, saya langsung menanyakan kontribusi dari teman-teman, mereka kasih apa, aransemen apa yang bisa menurut mereka, lagu apa yang harusnya kita bawain, semua saya komunikasikan sama mereka walaupun pada akhirnya keputusan terakhir tetap berada di tangan saya, tapi, saya tetap butuh masukan, dan ide dari mereka keren. Jadi, hal-hal yang kayak gitu yang memang terjadi karena diskusi. Ketika saya memutuskan udah jadi sebuah band, berubahlah, saya beralih fungsi lah nggak sepenuhnya jadi frontman, masih menanyakan pendapat dari teman-teman, gitu.

 

Mathew Sayersz kan sempat menjadi vokalisnya BLP, kemudian Mathew memutuskan untuk keluar dari BLP. Nah, setelah Mathew keluar, kenapa BLP mutusin untuk nggak pakai vokalis tetap lagi?

Barry Likumahuwa

Buat saya, cerita kita dengan Mathew panjang ya, dari 2008 itu udah sama Mathew, dia keluar tahun 2012, which is udah 5 tahunan ya kita jalanin, buat saya nggak semudah itu mengganti perjalanan 5 tahun dengan dadakan mencari vokalis gitu. Dan, saya tanya ke teman-teman gimana ada yang cocok nggak vokalis, dan memang belum ada, maksudnya yang sejalan dengan Mathew belum ada. Yaudah lah saya pikir daripada kita begitu, kita berlima aja, vokal additional, teman-teman juga sempat nanya, “nggak apa-apa tuh kita nggak ada vokalis?” Saya bilang nggak apa-apa, kan yang dilihat bukan siapa vokalisnya, kita kan bukan band kayak Peter Pan atau Cokelat atau siapa yang memang bergantung pada vokalis, kita kan bukan, kita as a band, as a team gitu kan, instrumentalisnya yang dilihat juga. Makanya, pas saya memutuskan untuk seperti itu, mereka bilang, “Oh iya ya, kita bisa”, dan kita jalani itu dari tahun 2012 sampai 2015 nggak ada vokalis tetap.

 

Kalau misalkan kalian perform lagu yang membutuhkan vokalis, kalian mencari kriteria vokalisnya itu yang seperti apa? Harus sesuai dengan karakter BLP kah?

Kita sangat mencari yang sesuai dengan karakter kita sih. Beda halnya kalau misalkan kita kolaborasi di rekaman ya, kalau kolaborasi di rekaman, kita dengar lagunya trus mikir kira-kira siapa yang cocok ya nyanyi lagu itu, atau misalkan gue pengen si ini deh nih yang nyanyi di lagu ini gitu, kita bikin lagu yang gimana ya? Nah, itu beda tuh. Tapi, ketika udah live, kita mencari yang warnanya memang sesuai dan pada akhirnya ketika live kan warnanya pasti beda banget. Contoh, waktu kita live sama Teddy Adhitya, dia nyanyi dengan style-nya dia, waktu awal-awal dia nyanyinya ngikutin gaya Mathew, saya marahin, “Lo jangan ngikutin gayanya Mathew, lo pake gaya lo sendiri”, gitu. Waktu kita sama Albert Fakdawer, Albert juga sama, Albert bilang, “Oh, gue pakai gayanya Mathew?” “Oh, nggak, lo pakai gaya lo sendiri”, gitu. Maksudnya, lagunya aja yang kita mainin, gaya nyanyinya tetap gaya nyanyi dia, harus tetap ciri khas dia. Bedanya di situ aja, cuma memang kebanyakan kita harus cari supaya dia sewarna sama blpnya dulu, gitu.

 

Balik lagi ke masalah frontman, peran lo sebagai frontman di BLP ini sebenarnya seperti apa sih?

Barry Likumahuwa

Mungkin lebih ke ini ya, saya melihatnya lebih ke membaca situasi. Anggap aja karena saya frontman, saya berada di depan, saya bisa melihat lebih jelas gitu, dan saya bisa ngeliat kemampuan teman-teman semua yang waktu itu ada di BLP, beberapa orang ini seberapa besar kemampuannya, saya bisa lihat penonton maunya lagi yang kayak gimana, jadi, decision making yang sifatnya sesaat dan sangat spontaneous biasanya saya yang ambil, nah, itu fungsi saya lebih di situ, lebih menentukan arah band-nya mau kemana, lebih menentukan kita produksinya gayanya mau seperti apa, dan itu sering banget terjadi. Misalkan kita bikin song list nih, begitu ketemu crowd-nya, ternyata nggak cocok, saya bisa in the moment langsung, “Oke, ganti ya lagunya ya”, itu bisa saya lakukan dan teman-teman yang ikut sama saya biasanya udah tahu dari zaman BLP atau pun sekarang setelah post-BLP dengan teman-teman yang baru juga sama. Pokoknya gue suka yang kayak begini, nah, mereka udah tahu kita punya list lagu-lagu, kadang-kadang bahkan saya bisa sebut lagu sembarangan aja di panggung, saya bisa aransemen lagu langsung di panggung, nah, itu fungsinya saya sebagai frontman, gitu.

 

Wah, berarti pas manggung itu tergantung dari crowd-nya juga ya?

Saya sangat tergantung dengan crowd. Maksudnya gini, saya nggak mau maksain mereka harus dengar musik yang mereka nggak ngerti. Saya ada di situ tujuan apa? Untuk menghibur mereka yang datang, saya ingin mereka dateng, mereka pulang bawa sesuatu. Nah, kalau mereka nggak senang sama performance kita, apa yang mau kita bagi, gitu loh? Saya kan sangat penuh dengan message ya, ketika saya main musik tuh saya ingin ada message yang disampaikan, let’s say kita sedang berbicara tentang Indonesia, tentang persatuan, saya nggak bisa ngomong soal merdeka, saya nggak bisa ngomong soal persatuan kalau saya belum bikin mereka senang, gitu. Caranya gimana? Saya harus grab mereka dulu, kalau mereka udah senang, kita bisa sampein message-nya, dan mereka baru masuk tuh. Kalau mereka udah nggak senang, “Lo ngomong apaan sih? Lo ngomong apa sih soal Indonesia? Gue nggak ngerti lo ngomongin apa?” Tapi, itulah pentingnya bagi saya nge-grab mereka dulu supaya mereka suka dulu sama kita, kan dalam satu setlist kan panjang untuk 45 menit, korbanin satu atau dua lagu untuk bikin mereka senang, and then kita bisa balik ke misinya kita. Buat saya, itu jauh lebih penting. Nomor satu mereka bisa menikmati, nomor dua apa yang kita sampaikan jadinya nyampe, kalau kita nggak kayak gitu ya nggak nyampe, nggak ada gunanya kita ada di situ.

 

Apa hal yang paling sulit menjadi seorang frontman?

Barry Likumahuwa

Yang sulit suka disalah pahami sama orang, orang berpikir saya sedang mencari ketenaran sendiri, sedang berusaha jadi leader, padahal saya nggak pernah kepengen kayak gitu. Cuma memang ketika kita berada di depan pasti ada serangan-serangan kayak gitu, dianggep saya ingin top sendiri, padahal memang tugas kita sebagai leader. Pemimpin biasanya suka disalah artikan, orang suka nganggep, “Oh, dia lagi mencari keuntungan dirinya sendiri”, cuma buat saya itu tantangan yang seru dan memang pasti terjadi. Pemimpin di bidang apapun saya yakin pasti begitu, disalah artikan sama orang bawahannya, disalah artikan sama saingan, disalah artikan sama orang-orang yang melihat dari luar, dianggepnya dia pengambil keputusan sendiri, dan itu saya alami berkali-kali bahkan sampai detik ini pun masih saya alami. Dianggap yang paling dominan, kalau ada masalah saya yang kena, ya tapi itu resiko ya, dan kita nggak bisa paksa orang untuk jadi sesuai yang kita mau, tapi, kita cuma bisa sebagai contoh, nah itu yang selalu saya coba lakukan, gimana caranya saya menjadi contoh supaya teman-teman yang melihat tidak menilai hanya dari satu kejadian aja, tapi, bisa melihat dari keseluruhan, buat saya itu yang paling penting. Makanya, saya sebisa mungkin work ethic-nya saya tuh saya terapin di manapun dan teman-teman saya biasanya udah tahu, “Oh, Barry tuh work ethic-nya begini, nggak akan marah-marah di stage, nggak akan bentak-bentak orang sound, justru akan berterima kasih, blablabla…” itu yang kita lakukan, buat saya itu penting, saya nggak mau karena satu orang yang bikin kesalahan, saya yang kena. Nah, gimana caranya itu yang harus kita terapin di manapun.

 

Terus kenapa tetap pilih nama “Barry Likumahuwa Project” sebagai nama paten band-nya?

Waktu kita memutuskan jadi band, tadi kan ceritanya seperti yang tadi ya memang dibentuk karena saya, cuma waktu kita memutuskan jadi band, saya tanya untuk pilih nama band baru, mereka yang nggak mau, menurut mereka kita udah dikenal dengan BLP, udah nggak apa-apa BLP aja, tapi kita brandingnya dengan BLP, jadi jangan lagi ada tulisan “Barry Likumahuwa Project”, literally “BLP” biar orang bacanya BLP, supaya orang ngeliatnya sebagai sebuah band, terus saya bilang, “Yaudah, ini resiko yang kalian ambil ya, ayo keputusan akhir, mau nggak kita ganti nama?”, katanya nggak usah, kita repot lagi brandingnya, udah pake nama BLP aja, logonya diseriusin, fotonya bikin berenam waktu itu. Tapi, pada akhirnya kejadiannya seperti itu juga, begitu interview saya doang, press conference saya doang yang maju.

 

Tapi, mereka nggak keberatan dengan hal itu? Kan mereka bagian dari BLP?

Barry Likumahuwa

Mereka malah kebanyakan nggak keberatan dan malah memaksa, “Udah, lo aja”, gitu, sekarang saya juga jadi yang nggak enak, “Ya, jangan lah, kita kan sama-sama”, makanya terakhir-terakhir saya yang maksain kita bareng-bareng deh, mau ngomong bercanda-bercanda pas press conference terserah, pokoknya harus ikut ngomong. Dan, saya jadi nggak pernah ngomong sendirian, ayo kita berbagi. Gimana caranya terlihat branding-nya as a band.

 

Kalau sekarang Barry sebagai pemain bass, udah ada berapa banyak sekarang koleksi bassnya?

18 kalau nggak salah.

 

18? Masing-masing bass dengan karakter yang berbeda?

Iya, dan untungnya hampir sebagian dari situ nggak beli. Endorse kurang lebih ada sekitar 9 bass, sisanya baru beli. Karena, memang itu keberuntungan yang saya dapat lah, maksudnya memang Tuhan terlalu baik sama saya, jadinya saya bisa dapatnya yang luar biasa. Dan, sangat sesuai dengan karakter saya, kalau nggak ya nggak saya ambil itu bassnya.

 

Kalau nggak salah lo juga punya bass yang ada signature-nya sendiri, dan bassist di Indonesia cuma sedikit doang yang punya, salah satunya lo. Bagaimana perasaan lo bisa mendapatkan kesempatan itu?

Nggak layak hehehe. Menurut saya, saya nggak layak, karena banyak banget yang lain yang lebih pinter, lebih hebat dan lebih keren dari saya, harusnya mereka yang dapet. Makanya kadang dalam journey saya bermusik, saya suka bertanya-tanya, “Kenapa saya yang ada di sini?” Cuma saya yakin memang itu yang Tuhan mau, memang Tuhan yang udah tentuin kondisinya seperti itu, Dia yang udah atur jalannya seperti itu, ya saya tinggal ikut aja. Kalau saya ditanya jujur, ada 10 pemain bass top di Indonesia harusnya saya ada di nomor 15 kali, saya seharusnya nggak masuk di 10 besar, karena jujur banyak banget yang lebih keren dan kerennya gila-gilaan. Tapi, balik lagi itu memang karunia yang udah Tuhan kasih aja, gitu. Kalau ditanya gimana perasaannya ya senang, cuma saya nggak layak, dan saya juga sangat berterima kasih kalau memang yakin mau kasih untuk saya.

 

Apa sih yang membuat lo beda dari bassist yang lainnya?

hmmm, mungkin karena saya menyanyikan apa yang saya mainkan. Saya nggak bilang kalau yang lain nggak menyanyikan, nggak. Cuma mungkin banyak pemain bass yang fokusnya di technic, di skill, kebetulan saya jujur orangnya pemalas, jarang latihan, jadi saya bisa mengekspresikan apa yang ada di hati saya dan di otak saya dengan permainan bass saya. Jadi, saya jarang banget hanya mengandalkan skill atau technic yang saya pelajari atau saya latih, hampir semua yang saya bunyikan itu berasal dari apa yang ingin saya bunyikan di dalam hati dan otak saya. Mungkin itu yang bedain.

 

Saat ini BLP sedang ada project apa?

Barry Likumahuwa

BLP lagi vakum. Sekarang saya lagi sibuk produce, ini kayak salah satunya penyanyi yang lagi saya produce si Albert Fakdawer, saya lagi producing single dia yang terbaru. Ada beberapa musisi juga yang udah saya produce, ada Shalahita, ada Dimas Pradipta, dan banyak lagi yang lainnya, salah satunya kayak teman-teman seperti Kunto Aji, T-Five, semuanya saya bantuin. Jadi, fokus saya lebih banyak di producing sekarang semenjak 2015, manggung terakhir dengan BLP tahun 2015 bulan Agustus sampai sekarang kita belum manggung lagi. Kalau saya perform di mana-mana dengan tim additional, saya ajak teman-teman yang jauh lebih muda, dan ke mana-mana hanya dengan nama Barry Likumahuwa aja, tidak dengan Barry Likumahuwa Project.

 

Lalu, nantinya BLP akan berlanjut lagi atau bagaimana?

Tidak tahu. Masih belum tahu, karena udah mulai pada akhirnya boleh dibilang sangat berbeda ternyata, banyak visi yang udah nggak ketemu, saya nggak mau nge-judge, tapi, mungkin mereka udah nyaman dengan BLP yang dulu, semenatara saya sangat yakin musik itu harusnya evolve terus, nah, saya kepengen musiknya berubah, dan penggemar pun kebanyakan ingin BLP tetap seperti dulu, semantara buat saya nggak bisa. Waktu kita rilis album terakhir kita “Innerlight”, mereka banyak yang bilang, “Kok musiknya berubah banget ya nggak kayak BLP yang dulu?” Ya, buat saya harusnya musik seperti itu, evolve, walaupun kita tetap punya warnanya kita, otomatis jadi lebih berat. Nah, saya nggak bisa to stay di satu warna yang sama. Jadi, kalau ditanya, apakah akan balik? Mungkin aja terjadi, cuma belum tahu kapan?

 

Iya juga sih ya, kadang orang-orang udah terbiasa dengar yang lama, terus tiba-tiba berubah pasti ada yang terima dan ada yang nggak terima. Iya, kan?

Iya, ada pro dan kontra. Buat saya itu sebetulnya sesuatu yang menantang, dari situ akan terseleksi tuh mana yang penggemar yang benar-benar penggemar dan stay. Buat saya, saya belajar itu dari John Mayer salah satunya, John Mayer di semua albumnya beda terus, tapi, warnanya John Mayer tetap ada dan orang tetap bisa kenal warnanya dia. Yang akhirnya stay sampai sekarang jadi fans-nya John Mayer adalah the die hard fans, yang lainnya hanya for season aja, ada yang cuma suka album pertamanya aja, ada yang album keduanya aja, kalau saya suka sama semua albumnya dia, karena menurut saya dia adalah orang yang jenius.

 

Ada hal yang belum tercapai nggak dari lo sebagai seorang musisi?

Barry Likumahuwa

Salah satu yang ingin saya rasain adalah tour setahun penuh keliling dunia, itu yang belum terjadi. Maksudnya, saya sekarang juga masih tour ke mana-mana, cuma saya ingin ngerasain tour yang benar-benar tour, karena musisi jazz di luar tuh seperti itu ya, mereka tour setahun, mereka keliling dunia, literally keliling dunia, manggung di setiap kota di setiap benua, itu yang pertama. Yang kedua, saya ingin banget kolaborasi dengan Iwan Fals, itu yang belum terjadi sampai sekarang. Saya nge-fans banget sama dia, dia orang yang sangat konsisten dengan karyanya, dia punya message di setiap lagunya, fans-nya die hard banget, ratusan ribu mungkin jutaan sekarang, dan dia orang yang sangat punya kharisma yang luar biasa di atas panggung.

 

Ada tips nggak untuk orang-orang yang punya band sekaligus dia jadi frontman, apa sih yang harus mereka lakukan?

Harus jadi diri sendiri, buat saya itu yang paling penting. Karakter tuh nggak ada yang bisa gantiin, musik boleh ganti, tren boleh berganti, tapi, karakter harusnya nggak pernah bisa tergantikan, sampai kapanpun orang akan selalu punya karakternya dia. Dia punya warna baru, dia punya nuansa baru, tapi, karakternya dia stay sebagai core, nah, buat saya setiap musisi seharusnya menemukan itu. Makanya, balik lagi ke pertanyaan pertama tadi bahwa semua orang harus menemukan dulu identitasnya dia, bukan hanya identitasnya dia sebagai musisi, tapi, bahkan sebagai dirinya sendiri dulu, benar-benar kayak yang, “Ini gue, gue nggak akan bisa digoyahkan”, setelah itu ketika dia bermusik, hal yang sama. Kayak ketika tadi saya ditanya, “Kenapa jazz? Kenapa nggak yang lain?” Saya bisa aja nyoba yang lain, saya berkolaborasi, tapi, ketika saya berdiri sebagai seorang Barry Likumahuwa, “this is my color, this is my song, this is my sound”, gitu. Itu yang paling penting, gimana caranya kita menemukan karakter supaya kita dikenal orang dan kita stand out dari yang lain.

Comments
Agus Sungkawa
Nyimak artikel nya
Mursidin
Keren banget