Inspiring Communities
Kamis, 30 April 2020

Infoscreening: Cerita Tentang Cinta dan Besarkan Film Indonesia

  • Share
  • fb-share
Infoscreening: Cerita Tentang Cinta dan Besarkan Film Indonesia

Nggak ada yang mustahil selama ada media sosial. Infoscreening misalnya, bermula dari diskusi terbuka di Twitter, kini sudah berkembang pesat menjadi website media yang juga mengadakan pemutaran film alternatif. Nah, ngomongin soal pemutaran film alternatif, sebenarnya tahun ini Infoscreening punya rencana di bioskop komersil, melanjutkan program tahun lalu, sayangnya niat ini masih harus ditunda terkait krisis corona.

Bisa dibilang Infoscreening memiliki misi sebagai media alternatif, berbagi wacana dan informasi seputar sinema. “Kami mencoba memperkenalkan filmmaker muda dan mencoba memberikan inspirasi ke orang kalau ada banyak medium yang bisa dijelajahi dalam kerangka film,” jelas Panji Mukadis, founder Infoscreening.

 

Menyeriusi Kegemaran

Panji bercerita, awal dia membangun Infoscreening bermula dari kesenangan akan film dan mendiskusikannya di ranah media sosial—waktu itu Twitter. Nggak disangka, ternyata dia bertemu dengan penggemar ataupun peminat yang sama.

Salah satu kegiatan Infoscreening adalah mengadakan seminar ataupun workshop terkait film

Akun Twitter @infoscreening berkembang, dan saat melanjutkan S2 di bidang bisnis, Panji niat untuk menyeriusi Infoscreening. Oleh karenanya, sejak 2019 lalu, Infoscreening sudah menjadi badan hukum koperasi, dalam arti semua orang punya kesempatan untuk memiliki Infoscreening, dengan arah redaksi dan program yang bisa ditentukan bersama.

“Di Infoscreening kita bisa usaha bareng-bareng untuk sama-sama memajukan Infoscreening. Dan karena sifatnya koperasi dan dimiliki bersama jadi harus lebih transparan dan akuntabel pada publik terutama yang berkoperasi di Infoscreening,” tambah Panji.

Bicara soal konten, dosen jurusan film di Semarang ini mengatakan ada pergeseran konten yang di-cover Infoscreening dulu dan sekarang. Kalau dulu Infoscreening meng-cover review film dan makin ke sini lebih ke arah berbagi wacana informasi seputar sinema.

“Kalau festival-festival yang glamor-glamor sudah banyak diberitakan dan biasanya media umum juga lebih mengejar selebritas aktor-aktris. Infoscreening mencoba memperkenalkan para filmmaker muda atau pembuat filmnya,” Panji memberi keterangan.

 

Mendukung Potensi Filmmaker Muda

Infoscreening dalam kegiatannya banyak menggandeng dan berkolaborasi dengan filmmaker muda. Kegiatan yang didukung tentu saja salah satunya adalah yang bermitra dengan Infoscreening. Kemudian, dalam kontennya, Infoscreening berusaha memancing wacana yang sedang ramai dibahas ataupun yang perlu untuk ditampilkan, misalnya seperti revitalisasi Taman Ismail Marzuki.

Panji kerap menjadi pembicara ataupun moderator acara  perfilman.

“Kami merasa berkepentingan untuk ikut mengawasi dan menginformasikan agar kegiatan film bisa kembali hadir di sana setelah revitalisasi rampung. Atau seperti sekarang ramai krisis corona yang dampaknya ke film pasti besar sekali. Kami ingin coba mengadvokasi agar orang-orang sadar akan pentingnya kebudayaan dan film, apalagi kemarin seperti naik terus dan sekarang momennya terancam hilang,” papar Panji lebih detail.

Tentu saja sebagai bentuk dukungan terhadap pergerakan filmmaker, Infoscreening memberikan ruang yang luas terhadap kreativitas filmmaker, termasuk yang baru mulai bikin film panjang perdananya.  Kemudian cara-cara orang tetap berkarya selain membuat film tetapi tetap di ruang sinema.

 

Peran Bioskop Alternatif

Seperti yang lo tahu nih Bro, sekarang ini semakin banyak bioskop alternatif, khususnya di Jakarta. Panji memandang tren ini sebagai sesuatu yang baik. Bioskop alternatif punya pemutaran yang terprogram atau terkurasi.

Tampilan feed Instagram Infoscreening

Misalnya saja, ada yang dua kali tayang atau sampai seminggu tayang. Kalau bioskop reguler atau mainstream lebih ke market dan kalau punya duit yang cukup, semua bisa masuk ke bioskop tinggal bisa bertahan berapa lama.

Lalu ada lagi perihal sensor, bioskop mainstream sifatnya komersil sehingga secara undang-undang harus mengurus sensor dan agar aman diputar biasanya harus dalam format DCP. “Ini yang menyulitkan film-film alternatif untuk masuk selain ngurusnya sulit, kebebasan untuk berekspresi dan menyampaikan hal yang aktual jadi terbatas, produser jadi harus punya self-censorship sendiri,” terang Panji.

Situasi yang berbeda terjadi di Korea, di sana film mulai berkembang ketika sensornya perlahan dicabut. Mungkin kalau di Indonesia penerapannya nggak bisa seperti itu, bisa diupayakan dengan cara lain misalnya dengan menampilkan film alternatif di beberapa studio bioskop di Indonesia untuk untuk kepentingan pengembangan dan belajar.

 

Perkembangan Terkini Film Indonesia

“Perfilman di Indonesia bisa dibilang belum mature industrinya, maksudnya di sini masih banyak yang bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Kesempatan untuk bikin banyak hal di perfilman masih terbuka lebar, tapi juga harus ulet dan sabar,” komentar Panji.

Menurutnya, perlu adanya dukungan dari berbagai pihak, mulai dari dana sampai ilmu untuk menjalankannya. Industri perfilman di Indonesia beda dengan Hollywood, di sini selama ada uang, orang bisa bikin film dan bisa masuk bioskop.

Kehadiran Infoscreening diharapkan dapat mengisi ruang kosong berdiskusi mengenai perfilman Indonesia

Padahal yang punya uang sebenarnya nggak harus bikin film sendiri. Mereka bisa mempercayakan dana mereka ke pihak-pihak yang berkecimpung di perfilman. Sekolah film sendiri sudah lumayan banyak, mulai banyak yang melek film dan tahu ilmu tentang film.

Atau bisa juga pakai uangnya untuk memajukan ekosistem film. Soalnya, di berbagai daerah sudah mulai ada sekolah film, komunitas film yang berkegiatan dan memajukan industrinya di daerahnya masing-masing.  “Masih banyak PR untuk perfilman Indonesia. Tetapi ini hal yang seksi untuk dijalankan, apalagi kalau tertarik membangun sesuatu yang relatif belum terbentuk,” tambah Panji.

Selain itu, isu yang paling mengganggu Infoscreening terkait perfilman Indonesia adalah kekerasan seksual di perfilman. Ini sebenarnya terjadi di berbagai bidang, baik eksibisi festival, maupun produksi.

Orang-orang yang ingin terlibat dalam perfilman sering kali terbelenggu oleh relasi kuasa, karena kadang kekerasan seksual ini dilakukan oleh orang yang bisa memberi akses, bisa akses pendanaan atau akses pekerjaan.

Ngomongin film sebagai suatu moda usaha, sembilan bulan belakangan seperti ada kisruh mengenai kepastian hukum penanganan KKN--yang mana pasti juga berimbas pada perfilman. Mau bikin usaha film jangan-jangan mesti nyogok dulu, mau syuting, dan mau berkegiatan. Hal-hal ini bisa menghambat perkembangan perfilman.

“Gue berharap eksibisi film di Indonesia bisa sophisticated seperti dulu, punya beberapa brand bioskop yang mana masing-masing bisa punya dana untuk bikin konten dan diputar. Film juga bisa lebih beragam. Film Prancis nggak hanya tayang di festival, film-film tetangga Asia Tenggara juga bisa diperkenalkan di sini,” Panji menghaturkan harapan.

Buat lo yang penasaran seputar aktivitas Infoscreening bisa langsung cek aktivitas mereka di @infoscreeningAnyway, Panji merekomendasikan beberapa film terbaik sepanjang masa yang menarik untuk lo tonton.

Ada “The Hunt”, yang membahas seputar kompleksnya isu kekerasan seksual,  “Bicycle Thieves”, yang jadi semacam film kanon kalau berkecimpung di film, dan “Taxi Driver” (Martin Scorcese) Kalau film Indonesia ada “Negeri di Bawah Kabut”, “Tiga Dara”, “Lewat Djam Malam”, dan “Turah”.

Comments
Abdul Rasyid
Oke banhet nih
Dudy Elvianto
Lanjutkan bro